Syukur Tak Menyembuhkan Luka

DEPOKPOS – Pernahkah kalian merasa sesak di dada tanpa tssahu apa yang sebenarnya salah? Seolah ada sesuatu yang berat mengendap, tetapi tak satu pun kata bisa menggambarkannya. Kalian tetap menjalani hari seperti biasa, tersenyum, menyapa, tertawa seperlunya, padahal ada bagian dalam diri yang perlahan runtuh. Lalu, ketika kalian akhirnya mencoba membuka suara, tanggapan yang datang justru menyuruh diam: “Kalian harusnya bersyukur. Masih banyak orang di luar sana yang lebih menderita.”

Seolah-olah kesedihan harus dilombakan. Seolah rasa sakit hanya sah jika sudah mencapai tingkat tertentu. Padahal, dalam buku Merawat Luka Batin dijelaskan bahwa depresi bukan sekadar emosi yang datang dan pergi seperti cuaca harian. Ia adalah kondisi psikis yang dalam, kompleks, dan bisa membuat seseorang merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Menyuruh seseorang yang sedang terpuruk untuk “bersyukur” bukanlah bentuk penguatan, melainkan bentuk penyangkalan yang dibungkus niat baik.

Antara Bersyukur dan Depresi

Depresi bukan sekadar hilangnya rasa syukur dalam diri seseorang. Lebih dari itu, depresi adalah gangguan kesehatan mental yang dapat menyerang siapa saja, baik laki-laki maupun wanita. Menurut data dari World Health Organization, depresi menempati peringkat keempat gangguan kesehatan paling umum di dunia. Prevalensinya sekitar 20% pada wanita dan 12% pada laki-laki. Tanpa memandang gender atau seberapa banyak seseorang bersyukur dalam hidupnya, orang yang tampak kuat dan penuh rasa syukur pun bisa menyimpan luka batin yang sangat dalam.

Perbedaan mendasar antara depresi dan sedih dapat kita pahami dengan cara mengenalinya. Jika sedih adalah emosi wajar yang biasanya akan membaik seiring waktu, maka depresi adalah kondisi yang memerlukan penanganan khusus, seperti konsultasi dengan psikolog atau psikiater. Mengaitkan depresi dengan rasa syukur merupakan penyederhanaan berbahaya yang justru dapat memperburuk penderitaan orang yang mengalaminya.

Saat Nasihat Menjadi Tekanan

Bagi sebagian orang, nasihat yang seharusnya menguatkan justru bisa menjadi beban. Kalimat seperti “Harusnya kamu lebih bersyukur” sering kali terdengar sebagai bentuk kepedulian, tetapi bagi mereka yang sedang berjuang dengan depresi, ucapan semacam itu bisa terasa seperti vonis. Mereka merasa dihakimi dan tidak dimengerti. Alih-alih mendapatkan dukungan, mereka justru merasa bersalah karena dianggap tidak mampu mensyukuri apa yang dimiliki.

Fenomena ini dikenal sebagai toxic positivity, istilah yang diangkat dalam sebuah artikel dari Jurnal Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana tahun 2021. Toxic positivity adalah dorongan untuk terus berpikir positif sambil menekan emosi negatif. Tujuannya memang agar seseorang bisa menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih optimis. Namun, pendekatan ini justru mengabaikan kenyataan bahwa perasaan negatif, seperti sedih, marah, atau kecewa, merupakan bagian dari pengalaman manusia yang wajar dan perlu diterima. Ketika emosi tersebut ditekan dan tidak diberi ruang untuk muncul, kondisi psikologis seseorang bisa makin memburuk.

Misalnya, saat seseorang mencoba berbagi perasaan sedih, tapi yang didapat hanya kalimat seperti ‘Ya sudah, jangan sedih, harusnya kamu bersyukur.’ Padahal, menekan perasaan negatif seperti itu justru bisa membuat beban semakin berat.

Syukur Adalah Teman, Bukan Obat

Rasa syukur memang memiliki peran penting dalam menjaga kesehatan mental. Ia bisa menjadi teman yang menenangkan, sekaligus pengingat akan berbagai hal baik yang masih dimiliki seseorang. Namun, syukur tidak bisa berdiri sendiri sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi luka batin yang mendalam.

Terapi konseling, dukungan sosial, dan dalam beberapa kasus, pengobatan adalah langkah nyata yang dibutuhkan. Mengandalkan syukur saja tidak cukup dan bisa membuat penderita semakin terisolasi dari bantuan yang mereka butuhkan.

Membuka Ruang untuk Bangkit

Langkah pertama untuk menyembuhkan luka batin bukanlah dengan memaksakan diri untuk selalu bersyukur, malainkan dengan mengakui bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Memberi diri sendiri izin untuk merasakan kesedihan, dan mencari bantuan ketika diperlukan, adalah bentuk keberanian yang sesungguhnya.

Syukur memang indah dan penting, tapi ia harus hadir sebagai bagian dari perjalanan yang lebih besar menuju pemulihan. Mendengarkan, menemani, dan memahami adalah cara terbaik kita bisa membantu mereka yang sedang berjuang dengan luka yang tak terlihat.

Mari kita belajar memberi ruang bagi luka dan kesedihan, bukan menutupnya dengan tuntutan untuk selalu bersyukur. Dengan begitu, kita membuka jalan bagi pemulihan yang sejati dan saling mendukung sebagai sesama manusia.

Early Aditia.

Pos terkait