DEPOKPOS – Layar ponsel menyala pukul sebelas malam. Notifikasi hijau yang kamu tunggu-tunggu akhirnya muncul. Nama ‘dia’ tertera di sana, mengirimimu sebuah video lucu dari TikTok, diikuti pertanyaan klasik, “Belum tidur?” Jantungmu berdebar sedikit lebih cepat. Senyum kecil tersungging di bibirmu. Kalian pun larut dalam obrolan hingga larut malam, membahas segalanya mulai dari film terbaru, keluh kesah pekerjaan, hingga ketakutan terdalammu.
Besoknya, kalian makan siang bersama, ia bahkan membayarkan makananmu dan memujimu tulus. Tangan kalian bersentuhan sekilas, mengirimkan sengatan listrik yang menyenangkan. Semua terasa sempurna, seperti sepasang kekasih. Namun, ada satu masalah besar: kalian bukan sepasang kekasih. Selamat, kamu sedang terjebak dalam sebuah “situationship”.
Ini adalah zona abu-abu emosional yang dialami banyak Gen Z di tahun 2025. Sebuah fenomena yang oleh media sosial dan budaya pop Barat dijuluki situationship, namun bagi kita di Indonesia, mungkin lebih akrab dengan istilah “Hubungan Tanpa Status” (HTS) atau “Teman Tapi Mesra” (TTM) versi lebih kompleks.
Ini adalah hubungan yang memiliki semua elemen keintiman emosional dan terkadang fisik layaknya pacaran (seperti perhatian, kencan, panggilan sayang, dan curhat mendalam), namun tanpa satu hal krusial: komitmen dan kejelasan.
Kamu merasa memiliki seseorang, tetapi pada saat yang sama, kamu tidak benar-benar memilikinya. Kamu berhak cemburu, tapi tidak punya dasar untuk menanyakannya. Kamu ingin masa depan, tapi bahkan tidak berani membahas rencana untuk minggu depan. Ini adalah limbo percintaan modern yang manis sekaligus menyakitkan, dan menjadi sumber utama dari overthinking dan kegalauan yang melanda generasi kita.
Secara psikologis, jebakan situationship ini sangat masuk akal di era sekarang. Generasi Z, seperti yang banyak diulas dalam berbagai jurnal psikologi populer, adalah generasi yang dibesarkan di tengah ketidakpastian ekonomi dan kebebasan digital yang tak terbatas.
Psikolog sosial, Dr. Indah Pertiwi, dalam sebuah seminar daring tentang kesehatan mental anak muda, menjelaskan bahwa banyak anak muda saat ini memiliki “fear of commitment” atau ketakutan pada komitmen. “Mereka melihat komitmen sebagai beban yang membatasi kebebasan dan eksplorasi diri. Ditambah lagi dengan paradox of choice dari aplikasi kencan, di mana selalu ada opsi yang ‘mungkin lebih baik’ hanya dengan satu gesekan jari,” jelasnya.
Akibatnya, situationship menjadi jalan tengah yang aman. Kamu bisa mendapatkan kehangatan dan validasi dari sebuah hubungan tanpa harus menanggung risiko sakit hati dari sebuah perpisahan resmi atau tanggung jawab sebuah komitmen. Namun, ironisnya, ketidakpastian inilah yang justru menciptakan luka dan kecemasan yang lebih dalam.
Rasa lelah mental akibat situationship ini nyata. Kamu terus-menerus menganalisis setiap teks, setiap tatapan, dan setiap tindakan.
“Apakah dia serius? Atau aku hanya pilihan saat dia bosan?” Pertanyaan ini berputar tanpa henti, menguras energi mental yang seharusnya bisa digunakan untuk pengembangan diri, karier, atau ibadah. Ini adalah bentuk emotional labor atau kerja emosional yang tidak dibayar dan tidak diakui.
Kamu memberikan dukungan, waktu, dan hatimu, namun tanpa jaminan apa pun. Ketika salah satu pihak tiba-tiba menghilang (ghosting) atau memutuskan untuk menjalin hubungan serius dengan orang lain, pihak yang ditinggalkan akan hancur lebur, bahkan tanpa punya hak untuk merasa marah karena “kita kan nggak ada apa-apa.”
Ini adalah sakit hati yang tidak valid, sebuah duka yang tak terlihat, yang seringkali lebih sulit disembuhkan daripada putus cinta dari hubungan yang jelas statusnya.
Di tengah kebingungan dan kegalauan massal inilah, banyak dari kita yang kemudian berhenti sejenak dan bertanya: di mana sebenarnya posisi agama dalam semua ini? Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, ajaran Islam menawarkan sebuah perspektif yang sangat kontras dengan ambiguitas situationship.
Jika budaya modern mengagungkan kebebasan tanpa batas, Islam justru menawarkan kebebasan sejati melalui batasan yang melindungi. Konsep hubungan dalam Islam dibangun di atas pilar kejelasan dan tujuan. Tidak ada ruang untuk zona abu-abu yang menggantung dan meresahkan.
Tujuannya jelas, yaitu pernikahan (nikah) sebagai sebuah ikatan suci (mitsaqan ghalizha) yang membawa ketenangan (sakinah). Prosesnya pun diatur untuk menjaga kehormatan kedua belah pihak melalui ta’aruf (perkenalan) dan khitbah (lamaran).
Mari kita bedah lebih dalam. Ta’aruf sering disalahpahami sebagai proses yang kaku dan kuno. Padahal, jika dimaknai secara modern, ta’aruf adalah fase pengenalan yang sangat bertujuan. Ini adalah momen untuk saling mengetahui visi-misi hidup, prinsip, karakter, dan kompatibilitas, bukan untuk mengumbar kemesraan tanpa status.
Proses ini, seperti yang dijelaskan oleh banyak cendekiawan Muslim kontemporer, misalnya dalam tulisan-tulisan Quraish Shihab, menekankan pada penjagaan interaksi agar tidak jatuh ke dalam khalwat (berdua-duaan di tempat sepi) dan tetap menjaga pandangan serta kehormatan.
Tujuannya adalah untuk mengumpulkan data, bukan untuk menumbuhkan rasa cinta yang belum pada tempatnya. Ini sangat berbeda dengan situationship yang justru sengaja memupuk perasaan dan keintiman tanpa ada tujuan yang jelas sama sekali, menjadikannya lahan subur untuk kekecewaan.
Perspektif hukum Islam menjadi lebih tegas ketika kita melihat potensi bahaya dari situationship. Al-Qur’an dalam Surat Al-Isra’ ayat 32 memberikan peringatan yang sangat fundamental: “Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Para ulama menafsirkan kata “mendekati” ini sebagai larangan terhadap semua pintu dan jalan yang dapat mengarah pada perzinaan. Situationship, dengan segala keintiman emosional dan fisiknya yang tanpa ikatan halal, secara esensial adalah bentuk “mendekati zina” yang paling nyata di era modern.
Obrolan mesra hingga larut malam, sentuhan fisik yang disengaja, dan berdua-duaan yang intens. Semua ini adalah aktivitas di “area terlarang” yang sengaja diciptakan oleh hubungan tanpa status, yang melemahkan iman dan membuka pintu bagi perbuatan dosa yang lebih besar.
Lalu, apa solusinya? Apakah Gen Z harus menolak sepenuhnya interaksi dengan lawan jenis? Tentu tidak. Solusinya adalah menggeser paradigma. Alih-alih melihat batasan agama sebagai kungkungan, lihatlah ia sebagai bentuk self-love dan self-respect tertinggi.
Menolak untuk masuk ke dalam situationship bukanlah berarti kamu kaku atau tidak modern. Justru, itu adalah sebuah pernyataan bahwa kamu menghargai hatimu, waktumu, dan kehormatanmu. Kamu menyatakan bahwa dirimu terlalu berharga untuk menjadi sekadar pilihan sementara, pengisi kekosongan, atau tempat singgah yang tak pasti. Kamu berhak atas kejelasan, komitmen, dan sebuah hubungan yang membangun, bukan yang menguras kewarasanmu dengan overthinking.
Memilih jalan yang lebih terhormat sesuai tuntunan agama bukanlah sebuah kekalahan dalam pergaulan modern, melainkan sebuah kemenangan. Ini adalah tentang memiliki standar. Ketika kamu merasa tertarik pada seseorang, niatkan dengan lurus. Jika memang tujuannya adalah untuk sebuah hubungan yang serius dan halal, maka tempuhlah jalurnya dengan cara yang terhormat.
Libatkan wali jika perlu, jaga batasan interaksi, dan fokus pada penjajakan karakter, bukan sekadar memuaskan perasaan sesaat. Sebagaimana dikutip dari banyak nasihat para ulama, menjaga hati sebelum akad adalah bentuk perjuangan yang akan Allah balas dengan ketenangan dan keberkahan setelahnya. Hati yang terjaga akan disandingkan dengan hati yang juga menjaga.
Pada akhirnya, di tengah gemerlap tren kencan 2025 yang penuh dengan istilah-istilah kompleks, jawaban yang kita cari mungkin jauh lebih sederhana. Jawaban itu ada pada kejelasan, kehormatan, dan tujuan. Situationship mungkin terasa mendebarkan pada awalnya, tetapi ia adalah api yang membakar ketenangan jiwamu secara perlahan.
Kamu, sebagai bagian dari generasi yang cerdas dan sadar akan kesehatan mental, berhak mendapatkan lebih. Kamu berhak atas sebuah cinta yang pasti, hubungan yang menenangkan, dan pasangan yang berani mengatakan dengan tegas, “Aku memilihmu, bukan hanya untuk situasi ini, tetapi untuk masa depan.” Dan kepastian tertinggi itu, seringkali ditemukan saat kita menyandarkan pilihan kita pada aturan Sang Pemilik Hati.
Anggun Azahra Luffiani
