DEPOKPOS – Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi yang disruptif, dunia dihadapkan pada gejala krisis identitas dan disorientasi nilai. Modernitas menjanjikan efisiensi, produktivitas, dan konektivitas, namun juga membawa dampak sosial-kultural yang mengikis jati diri kolektif dan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, studi humaniora menjadi sangat relevan untuk mengkaji kembali esensi keberadaan manusia dan membangun kesadaran reflektif terhadap makna hidup di era yang serba cepat dan instan.
Humaniora bukan sekadar kumpulan disiplin ilmu seperti sastra, filsafat, sejarah, dan seni, melainkan sebuah pendekatan menyeluruh dalam memahami manusia sebagai makhluk yang berpikir, merasakan, dan mencipta makna. Melalui humaniora, kita diajak untuk menelusuri pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang kebebasan, tanggung jawab, keadilan, dan kebudayaan. Humaniora menawarkan ruang bagi perenungan kritis yang tidak bisa dijawab hanya dengan algoritma atau logika matematis semata.
Krisis identitas yang terjadi dalam masyarakat modern sering kali berakar dari keterputusan manusia dengan warisan kultural dan narasi besar peradaban. Dalam dunia yang dibentuk oleh logika konsumsi dan eksistensi digital, individu kehilangan akar sejarah, nilai spiritual, dan ikatan sosial yang memberi arah hidup. Di sinilah pentingnya studi humaniora, karena ia memulihkan ingatan kolektif, mengenalkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan merawat keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman.
Lebih jauh, humaniora tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga menumbuhkan. Ia membuka kemungkinan lahirnya wacana baru, seni baru, bahkan etika baru yang lebih kontekstual dengan tantangan zaman. Melalui kajian sastra, seni, atau pemikiran filsafat, generasi muda dapat membangun narasi alternatif yang humanistik—melawan reduksi manusia menjadi sekadar data, statistik, atau objek pasar. Humaniora membangun imajinasi sosial yang memerdekakan, bukan mengasingkan.
Di dunia akademik, penguatan kurikulum berbasis humaniora sangat dibutuhkan untuk menciptakan lulusan yang tidak hanya kompeten, tetapi juga berintegritas dan memiliki kepekaan sosial. Dunia kerja masa depan membutuhkan insan yang mampu berpikir lintas disiplin, memahami kompleksitas manusia, dan beretika dalam mengambil keputusan. Dengan latar belakang humaniora, seseorang dapat menjembatani antara logika industri dan suara-suara minor yang kerap terpinggirkan.
Namun sayangnya, humaniora kerap dianggap kurang relevan secara ekonomi atau tidak “menghasilkan” dalam logika pasar pendidikan. Pandangan ini keliru dan reduktif, karena keberlanjutan peradaban tidak ditentukan hanya oleh teknologi dan ekonomi, tetapi juga oleh bagaimana manusia memahami dirinya dan dunia di sekitarnya. Dalam jangka panjang, krisis moral, polarisasi politik, dan konflik sosial justru akan makin dalam jika dimensi humanistik terus diabaikan.
Dengan demikian, studi humaniora bukanlah sesuatu yang usang atau sekadar pelengkap. Ia adalah pilar utama dalam membangun masyarakat yang beradab, inklusif, dan bermartabat. Di tengah krisis multidimensi yang melanda dunia saat ini, hanya dengan memulihkan sisi kemanusiaan melalui pendekatan humaniora, manusia dapat menemukan kembali jati dirinya, memahami perbedaan sebagai kekuatan, dan berjalan bersama menuju masa depan yang lebih beretika dan bermakna.
Hilda
Mahasiswa Universitas Pamulang
