Realita Anak Muda dan Kredit Rumah: Antara Mimpi dan Kenyataan Ekonomi

DEPOKPOS – Di tengah hiruk pikuk konten media sosial yang memamerkan rumah minimalis, dapur estetik, dan cicilan properti, anak muda zaman sekarang dihadapkan pada dilema besar: apakah mungkin memiliki rumah sendiri di usia muda, atau itu hanya ilusi di tengah kenyataan ekonomi yang makin menekan?

Bagi generasi sebelumnya, memiliki rumah sebelum usia 30 dianggap pencapaian yang wajar. Namun kini, bagi banyak anak muda, hal itu terdengar seperti mimpi yang semakin jauh. Harga rumah melonjak jauh lebih cepat dibandingkan kenaikan gaji (BPS, 2023), sementara biaya hidup, cicilan pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari terus menggerus kemampuan finansial.

Mimpi yang Masih Diidamkan

Meski sulit, impian punya rumah masih menjadi cita-cita mayoritas anak muda. Rumah bukan sekadar tempat tinggal; ia adalah simbol stabilitas, kemandirian, dan keberhasilan. Namun, untuk mencapainya, banyak yang harus berkompromi: menunda pernikahan, menahan keinginan berlibur, hingga mengambil pekerjaan tambahan (side hustle) demi menabung untuk DP rumah.

Bacaan Lainnya

Sebagian dari mereka memilih jalur KPR (Kredit Pemilikan Rumah) meskipun tahu akan terikat cicilan belasan hingga puluhan tahun. Pilihan ini sering kali diambil bukan karena “mampu”, tapi karena takut harga rumah akan semakin tidak terjangkau ke depannya (Bank Indonesia, 2023)

Kenyataan Ekonomi yang Mencekik

Sayangnya, ekonomi tidak selalu sejalan dengan semangat. UMR di berbagai kota masih sulit mengejar harga properti (BPS, 2023). Bahkan untuk rumah subsidi pun, syarat pengajuan seringkali tidak fleksibel. Belum lagi bunga bank, pajak, dan biaya tambahan lainnya yang jarang diperhitungkan sejak awal (OJK, 2023).

Ditambah lagi, tekanan sosial dari media digital turut memperparah rasa “tidak cukup sukses”. Banyak anak muda merasa tertinggal saat melihat teman sebayanya sudah mengunggah foto rumah baru, padahal setiap orang punya kondisi dan start yang berbeda (Nasrullah, 2015).

Antara Ideal dan Realistis

Kredit rumah menjadi titik temu antara idealisme dan realitas. Sebagian anak muda yang berani mengambil kredit dianggap berani berinvestasi dan memikirkan masa depan. Tapi tak sedikit juga yang akhirnya terbebani secara mental dan finansial. Hidup di tengah cicilan bukan hal mudah — apalagi ketika harga kebutuhan pokok terus naik dan pekerjaan tak menjamin keamanan jangka panjang.

Harapan untuk Perubahan

Isu ini bukan hanya soal personal, tapi menyangkut struktur ekonomi yang lebih besar. Dibutuhkan regulasi yang berpihak pada generasi muda, seperti subsidi perumahan yang benar-benar tepat sasaran, kontrol harga properti yang adil, serta edukasi finansial sejak dini. Di sisi lain, masyarakat juga perlu membuka ruang diskusi yang lebih empatik — bahwa sukses tak harus berarti punya rumah muda, dan setiap orang punya jalan hidup masing-masing.

Realita anak muda dan kredit rumah adalah potret nyata dari benturan antara impian dan kenyataan sosial ekonomi. Di tengah segala tekanan, yang dibutuhkan bukan hanya strategi keuangan, tapi juga dukungan sosial, sistem yang adil, dan pemahaman bahwa memiliki rumah hanyalah salah satu dari banyak bentuk pencapaian hidup — bukan satu-satunya.

Erika Dwi Novita
Prodi Sarjana Akuntansi Universitas Pamulang

Pos terkait