DEPOKPOS – Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2025 yang mencapai 5,12 persen (y-on-y) memantik perdebatan hangat. Di satu sisi, angka ini menjadi sinyal positif bahwa perekonomian nasional tetap ekspansif meski dunia diliputi ketidakpastian. Namun di sisi lain, sejumlah pengamat menilai capaian itu terlalu optimis dan tidak sepenuhnya sejalan dengan indikator riil di lapangan.
BPS mencatat industri pengolahan tumbuh 5,68 persen. Data resmi Bank Indonesia mencatat PMI Manufaktur di level 50,89 atau masih berada di zona ekspansi, sementara versi Markit yang banyak dirujuk pengamat menunjukkan kontraksi di bawah 50. Inilah yang menimbulkan tafsir berbeda. Lembaga riset seperti Celios dan Indef menilai perbedaan ini janggal, mengingat laporan pemutusan hubungan kerja di sektor padat karya masih marak. Namun, data BPS menunjukkan bahwa kapasitas produksi terpakai justru meningkat hingga 73,58 persen, lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Bahkan penjualan listrik segmen industri naik 8,55 persen (y-on-y), artinya aktivitas pabrik masih hidup.
Isu lain adalah investasi. Memang benar, realisasi investasi BKPM tumbuh lebih lambat dibanding tahun lalu. Namun dalam penghitungan PDB, investasi tidak hanya dihitung dari aliran modal asing, melainkan juga belanja modal pemerintah dan pembelian barang modal oleh swasta. Faktanya, impor barang modal naik 31,90 persen dan belanja modal APBN tumbuh 30,37 persen, yang konsisten dengan catatan PMTB meningkat 6,99 persen. Jadi, meski realisasi investasi menurun, aktivitas pembangunan tetap ekspansif.
Dari sisi konsumsi, pengamat menyoroti turunnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dari 121,1 ke 117,8 serta penurunan penjualan otomotif. Namun data lain menunjukkan cerita berbeda. Indeks penjualan eceran riil naik 1,19 persen (y-on-y), transaksi digital tumbuh 6,26 persen, dan belanja online marketplace bahkan melompat 7,55 persen (q-to-q). Mobilitas masyarakat juga meningkat: jumlah perjalanan wisatawan nusantara naik 22,32 persen, angkutan rel tumbuh 9,17 persen, dan angkutan laut 16,79 persen. Semua ini berkontribusi pada konsumsi rumah tangga yang masih solid di 4,97 persen.
Mei 2025 mencatat produksi padi 4,98 juta ton GKG, naik 22 persen dari tahun lalu. Kenaikan ini bukan karena luas panen bertambah—bahkan justru turun menjadi 0,98 juta hektar atau berkurang 22 persen dibanding tahun lalu—melainkan karena produktivitas hasil panen yang lebih tinggi. Lonjakan panen raya ini mendorong pertanian tumbuh 13,53 persen (q-to-q), menjadi motor tambahan bagi ekonomi triwulan II.
Perbedaan tafsir antara pengamat dan BPS sebenarnya berakar dari alat ukur yang digunakan. Para ekonom biasanya mengandalkan indikator terbatas seperti PMI, IKK, penjualan otomotif, atau PHK massal untuk membaca denyut ekonomi. Sementara BPS menggunakan sistem yang jauh lebih komprehensif dengan lebih dari 1.058 variabel penyusun PDB, terdiri dari 600 variabel lapangan usaha dan 458 variabel pengeluaran, yang bersumber dari survei, kompilasi administrasi, dan data eksternal. Dengan cakupan luas ini, BPS bisa menangkap dinamika yang mungkin luput dari indikator-indikator cepat yang dipakai analis.
Meski demikian, kritik atas angka resmi tetap wajar. Termasuk keinginan lembaga seperti Celios untuk mengajukan permintaan audit teknis ke PBB terkait metode penghitungan PDB Indonesia. Namun perlu dicatat, statistik tidak berdiri sendiri. Pertumbuhan 5,12 persen didukung oleh rangkaian faktor: konsumsi digital yang ekspansif, mobilitas masyarakat yang tinggi, investasi infrastruktur yang solid, panen raya yang mendongkrak produksi, serta kebijakan fiskal-moneter yang menjaga inflasi tetap rendah di 1,87 persen (y-on-y Juni 2025).
Dengan demikian, pertumbuhan ini bukan sekadar “angka indah” di atas kertas, tetapi cerminan dinamika ekonomi riil yang tengah bergerak. Yang lebih penting, momentum ini harus dikelola agar tidak hanya tercatat sebagai statistik, melainkan benar-benar menghadirkan kesejahteraan yang lebih merata.
Ditulis oleh: Dr. Andri Yudhi Supriadi
