DEPOKPOS – Pendidikan seharusnya menjadi jalan menuju masa depan yang lebih baik. Tapi kenyataannya di Indonesia, pendidikan justru sulit dijangkau terutama karena biaya yang terus menigkat di setiap tahunnya. Padahal UUD 1945 sudah menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Sayangnya, banyak anak-anak Indonesia yang masih kesulitan sekolah hanya karena tidak punya cukup uang.
Jurnal yang ditulis oleh Nindita Fadhila dan Lilia Pasca Riani menunjukkan bahwa masalah pembiayaan pendidikan di Indonesia ini sangat serius. Tingginya biaya pendidikan, minimnya transparasi anggaran, serta ketimpangan akses antara kota dan daerah terpencil. Berdasarkan data dari BPS yang dikutip oleh DetikEdu, biaya pendidikan meningkat 10% hingga 15% setiap tahun. Hal ini membuat banyak orang tua semakin kewalahan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Meskipun pemerintah menyebutkan pendidikan dasar sampai menengah gratis, kenyataannnya orang tua masih harus membayar banyak hal. Seperti biaya seragam, buku, transportasi sampai pungutan dari sekolah,semuanya menjadi beban. Bagi keluarga yang kurang mampu, hal ini sangat berat. Penelitian dari berbagai lembaga menunjukkan biaya-biaya ini bisa membuat anak-anak putus sekolah, terutama di daerah yang ekonominya masih lemah.
Meskipun ada bantuan seperti dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), namun belum juga mencukupi. Pengelolaan dan pengawasan yang lemah, membuat dana tidak digunakan sesuai kebutuhan. Hasil terbaru dari Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan 2024 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap temuan memprihatinkan bahwa sebanyak 12% sekolah masih menyalahgunakan dana BOS. Lebih dari sekedar angka, temuan ini mencerminkan masih rapuhnya integritas dalam sistem pendidikan nasional. Pemotongan dana hingga praktik nepotisme dan laporan fiktif. Padahal jika dikelola dengan baik, seharusnya dana tersebut bisa membantu meningkatkan kualitas pendidikan.
Keadaan yang lebih miris, saat ini banyak sekolah dan kampus yang berlomba-lomba menawarkan fasilitas mewah namun kualitas pendidikannya belum terjamin. Akibatnya, hanya mereka yang memiliki uang yang bisa mendapatkan pendidikan yang mewah dan berkualitas, sedangkan anak-anak yang orang tuanya kurang mampu harus harus menerima pendidikan dengan fasilitas apa adanya. Pendidikan seharusnya menjadi jembatan kesetaraan bukan malah menjadi alat ketimpangan sosial.
Tak hanya itu, gaya hidup konsumtif mahasiswa juga menjadi sorotan. Saat ini banyak mahasiswa yang lebih mementingkan penampilan atau ikut-ikutan tren daripada fokus belajar. Contohnya seperti tren handphone pada Gen Z harus memakai iphone agar terlihat keren dan update. Hal ini juga membuat pengeluaran semakin besar dan pendidikan terasa semakin mahal.
Melihat semua ini, sudah saatnya pemerintah lebih serius menangani masalah pendidikan. Jangan hanya menjanjikan anggaran yang besar, namun juga memastikan anggaran tersebut digunakan dengan jujur, tepat dan merata. Pemerintah juga harus mendengarkan suara masyarakat terutama mereka yang kurang mampu dan melibatkan mereka dalam perencanaan pendidikan.
Demi tercapainya generasi emas di masa yang akan datang, pendidikan hari ini harus dibenahi. Tidak cukup dengan hanya gedung sekolah baru dan mengganti kurikulum, tetapi harus ada langkah nyata dan menyeluruh. Pemerintah perlu memperbaiki sistem pengawasan dana BOS dengan melibatkan lembaga independen dan teknologi digital untuk memastikan transparasi dan mencegah penyalahgunaan. Pemerintah daerah juga perlu lebih aktif memetakan kebutuhan pendidikan di wilayahnya, termasuk memperluas jangkauan bantuan pendidikan hingga ke pelosok, serta menyediakan lebih banyak beasiswa yang berbasis kebutuhan. Selain itu, mendorong sekolah untuk menyediakan seragam sekolah dan buku panduan belajar secara gratis terutama untuk masyarakat miskin. Dengan langkah-langkah ini kitab bisa mewujudkan sistem pendidikan yang adil, transparan, dan benar-benar berpihak kepada semua anak bangsa, bukan hanya kepada mereka yang mampu membayar.
Hana Mawarni
Mahasiswi S1 Akuntansi Univesitas Pamulang
