Oleh: Murodi, Arief Subhan, dan Study Rizal LK*
Setiap kali 20 Mei datang, perhatian publik biasanya tertuju pada Boedi Oetomo (1908), organisasi priyayi Jawa yang sering dianggap sebagai simbol awal kebangkitan nasional. Narasi ini begitu kuat mengakar dalam pendidikan sejarah kita. Namun, sejarah bukan sekadar urutan tanggal dan tokoh elite. Ada momen-momen perlawanan dari bawah yang justru lebih awal dan penuh daya dorong kebangsaan, salah satunya adalah “Pemberontakan Petani Banten 1888”.
Perlawanan rakyat Banten ini dipimpin oleh Haji Wasid—seorang guru agama dari daerah Caringin Banten Selatan dan memiliki kedekatan dengan tarekat—dan para petani dari kalangan bawah, yang sudah lama tertekan oleh sistem tanam paksa, tekanan ekonomi kolonial, serta kontrol ketat terhadap aktivitas keagamaan. Pemberontakan ini bukan hanya ekspresi marah sesaat, tetapi lahir dari akumulasi kesadaran sosial dan spiritual masyarakat yang merasa terasing di negeri sendiri.
Sejarawan besar Indonesia, Sartono Kartodirdjo, dalam riset klasiknya Pemberontakan Petani Banten 1888 (1966), menegaskan bahwa gerakan ini bukan sekadar letupan emosional atau fanatisme keagamaan, tetapi “sebuah gerakan sosial yang terorganisir dan mencerminkan “kesadaran kolektif terhadap ketimpangan struktural kolonialisme”. Dalam hal ini, petani dan tokoh tarekat—jaringan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah (TQN) di Banten di bawah mursyid (guru utama)-nya, Syekh Haji Abdul Karim—bukan aktor pasif, tetapi pelaku sejarah yang mampu merumuskan tindakan politik berbasis pada nilai keadilan dan keberagamaan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Taufik Abdullah, yang menyoroti bahwa perlawanan keagamaan seperti di Banten 1888 adalah cermin dari “politik moral masyarakat”—yakni upaya menegakkan kembali tatanan sosial yang dianggap telah dilanggar oleh kekuasaan kolonial. Ini menjadi penting untuk dibaca dalam konteks kebangkitan nasional, karena menunjukkan bahwa sebelum elit-elit terpelajar menyusun wacana kebangsaan, rakyat di akar rumput sudah terlebih dahulu membangun resistensi dan cita-cita keadilan.
Namun sayangnya, narasi sejarah kita cenderung lebih menyoroti kebangkitan yang datang dari atas—dari pusat kekuasaan, dari tokoh elite terpelajar. Padahal, Pemberontakan Petani Banten 1888 memiliki bobot historis dan moral yang tak kalah penting, bahkan mungkin lebih autentik dalam menyuarakan aspirasi kemerdekaan. Di sinilah pentingnya membongkar kembali narasi besar sejarah nasional kita yang terlalu Jawa-sentris dan elit-sentris.
Jika kita memakai semangat Mazhab Ciputat—sebuah pendekatan intelektual yang kritis, rasional, dan transformatif—maka peristiwa seperti pemberontakan Banten 1888 layak dibaca sebagai embrio kesadaran kebangsaan yang muncul dari nalar etik rakyat kecil. Mereka melawan tidak dengan kalkulasi politik modern, tetapi dengan keyakinan bahwa tatanan yang menindas harus diakhiri. Dan keyakinan semacam itu adalah bentuk awal dari nasionalisme kultural dan spiritual.
Karena itu, ketika bangsa ini merayakan “Bangkit Bersama, Wujudkan Indonesia Kuat”, kita patut bertanya ulang: sudahkah kita mengakui kebangkitan yang lahir dari darah dan air mata rakyat? Apakah kita telah cukup adil menempatkan mereka dalam sejarah?
Pemberontakan Petani Banten 1888 memang tidak memiliki manifesto kebangsaan tertulis atau struktur organisasi modern. Tapi dalam semangat dan keberaniannya, terdapat benih-benih nasionalisme yang murni—bukan karena pendidikan Barat, tetapi karena dorongan iman dan rasa keadilan.
Maka, kebangkitan nasional tak layak dirayakan tanpa mengingat mereka yang lebih dulu bangkit, bahkan ketika namanya tak pernah tercatat dalam buku pelajaran. Di tengah gegap gempita seremoni, suara rakyat Banten 1888 tetap menggema: bahwa kebangkitan bukan milik segelintir elite, tapi hak seluruh anak bangsa yang berani melawan ketidakadilan.
* Penulis adalah Trio MAS FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.