Merger Grab dan GoTo: Efisiensi Digital atau Ancaman Persaingan Bebas

DEPOKPOS – Rencana merger antara Grab dan GoTo, dua perusahaan teknologi raksasa di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, memunculkan berbagai respons dari berbagai pihak—mulai dari pengamat ekonomi, pelaku usaha kecil, mitra pengemudi, hingga konsumen. Merger ini tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab kedua perusahaan tersebut menguasai sebagian besar layanan transportasi online, pengantaran makanan, dan sistem pembayaran digital di kawasan ini.

Dari sudut pandang bisnis, rencana ini tampak sebagai strategi yang masuk akal dan mungkin tak terhindarkan. Di tengah ketatnya persaingan industri teknologi digital, serta tantangan ekonomi global yang menuntut efisiensi, merger menjadi langkah logis untuk memperkuat posisi pasar. Penggabungan sumber daya, jaringan teknologi, dan basis pengguna yang luas akan menciptakan skala ekonomi yang lebih besar, menekan biaya operasional, dan mempercepat inovasi. Selain itu, merger juga dianggap sebagai jalan keluar dari tekanan profitabilitas yang selama ini membayangi perusahaan-perusahaan teknologi digital yang terus membakar uang untuk bersaing.

Namun, di balik potensi efisiensi tersebut, terdapat kekhawatiran besar terhadap dampak merger ini terhadap persaingan usaha dan keadilan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, GoTo merupakan hasil gabungan dua perusahaan lokal besar, yakni Gojek dan Tokopedia. Sementara Grab merupakan perusahaan asal Singapura yang selama ini juga menguasai sebagian besar pasar ride-hailing dan food delivery di Indonesia. Bila keduanya bergabung, maka akan lahir satu entitas super-app yang mendominasi hampir seluruh aspek ekonomi digital masyarakat Indonesia.

Bacaan Lainnya

Dampak dominasi seperti ini tidak bisa dianggap remeh. Dengan semakin sedikitnya pemain di pasar, maka otomatis pilihan konsumen akan menjadi terbatas. Tidak menutup kemungkinan harga layanan akan meningkat secara perlahan karena tidak ada persaingan yang cukup untuk menahan kenaikan tersebut. Lebih jauh, para mitra pengemudi dan UMKM yang tergantung pada platform juga berisiko kehilangan posisi tawar mereka. Ketika satu perusahaan menjadi terlalu besar, maka ia cenderung memiliki kekuatan penuh dalam menentukan kebijakan dan skema bagi hasil, yang mungkin tidak berpihak pada mitra atau pelaku usaha kecil.

Selain itu, merger ini juga menimbulkan pertanyaan besar terkait regulasi dan pengawasan pasar. Apakah pemerintah melalui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mampu mengawasi agar hasil dari merger ini tidak menjelma menjadi praktik monopoli terselubung? Apakah ada jaminan bahwa konsumen tetap mendapatkan layanan yang adil dan terjangkau, dan para mitra usaha tidak dirugikan dalam jangka panjang?

Dari sisi nasionalisme ekonomi, sebagian pihak juga menyayangkan jika GoTo, yang merupakan hasil karya anak bangsa, harus dilebur dengan perusahaan asing dan kehilangan kemandirian dalam pengambilan keputusan bisnisnya. Dalam jangka panjang, dominasi perusahaan asing di sektor ekonomi digital Indonesia dapat memperlemah kedaulatan ekonomi nasional, terutama jika tidak diimbangi dengan regulasi yang memihak kepentingan dalam negeri.

Di sisi lain, merger ini juga bisa menjadi peluang besar bila dijalankan dengan tata kelola yang baik. Dengan sinergi yang tepat, Grab dan GoTo bisa menjadi pionir dalam menciptakan ekosistem digital yang inklusif, ramah UMKM, serta mampu memperluas layanan hingga ke daerah-daerah pelosok yang selama ini belum tersentuh digitalisasi. Untuk itu, dibutuhkan keterlibatan aktif dari pemerintah, regulator, dan masyarakat sipil agar merger ini tidak hanya menguntungkan korporasi besar, tetapi juga seluruh lapisan masyarakat.

Ryan Fatturochman

Pos terkait