Kreativitas bukanlah mesin produksi. Ia tidak bisa dipaksa terus-menerus berjalan tanpa jeda
DEPOKPOS – Banyak orang berkata, “semakin sering kamu menulis, semakin bagus tulisanmu.” Nasihat itu memang terdengar logis, bahkan meyakinkan. Tapi bagaimana jika yang terjadi justru berkebalikan dari kenyataannya? Semakin sering menulis, semakin lelah, semakin kosong dan semakin minim kreatifitas yang muncul.
Tak sedikit penulis muda, pelajar, atau mahasiswa yang awalnya menulis dengan semangat tinggi menuangkan pikiran dan hati mereka ke dalam cerpen, puisi, artikel, atau jurnal harian. Namun seiring waktu, mereka mulai merasa terjebak dalam rutinitas. Menulis setiap hari, tapi rasanya tak pernah merasa cukup. Tulisan bertumpuk, tetapi tak ada yang benar-benar membaca, tak ada yang menanggapi, seolah tulisan yang dibuat hanya lewat begitu saja.
Dalam tahap ini, menulis menjadi seperti bekerja dalam ruang hampa, sunyi, membosankan, dan perlahan mematikan gairah. Masalahnya bukan terletak pada semangat menulis itu sendiri, tapi pada bagaimana kita merespons proses kreatif tersebut.
Kreativitas bukanlah mesin produksi. Ia tidak bisa dipaksa terus-menerus berjalan tanpa jeda, tanpa bahan bakar dari hati dan pikiran yang jernih. Ketika menulis berubah menjadi target yang harus dikejar setiap hari entah demi algortima di sosial media atau demi pembuktian diri, maka tulisan yang lahir bukan lagi karya indah yang dapat dinikmati melainkan hanya sekadar tulisan tanpa emosi dan perasaan penulisnya.
Dalam kondisi seperti ini, menulis tidak lagi menjadi proses mengekspresikan diri, melainkan sebuah beban. Apalagi jika tidak ada ruang apresiasi atau dukungan dari lingkungan sekitar. Banyak penulis yang akhirnya merasa tulisannya sia-sia karena tak dibaca, tak dianggap, atau hanya dihargai dalam bentuk “likes” dan “views” yang kosong tanpa umpan balik dari pembaca. Karya yang lahir dari tekanan semacam itu sering terasa hambar, tidak tulus dan kurang menyentuh.
Saya percaya bahwa menulis seharusnya menjadi bagian dari proses hidup, bukan sekadar bukti bahwa kita bisa atau sanggup menulis dengan baik. Menulis bukan tentang konsistensi tanpa isi, tapi tentang kehadiran makna yang utuh dalam setiap kata. Maka, jeda bukanlah bentuk kegagalan. Itu justru diperlukan sebagai bagian dari proses kreatif itu sendiri. Diam dapat menjadi ruang di mana kreatifitas kembali tumbuh dan dari ketenangan itulah muncul ide-ide baru dalam berkarya.
Yang kita butuhkan bukan sekadar dorongan untuk terus menulis, tetapi ekosistem yang suportif, komunitas yang benar-benar peduli, pembaca yang memberi umpan balik jujur, bahkan mentor yang memberi arah dalam proses kreatif. Menulis bukan soal siapa yang paling sering menerbitkan karya, tapi siapa yang tulisannya benar-benar hidup, dan membuat orang lain merasa hidup pula saat membacanya.
Sebab menulis yang dipaksakan hanya akan mengorbankan kreativitas. Dan kreativitas yang terkuras adalah kehilangan paling dalam yang bisa dialami seorang penulis.
Fiqri Fadhillah Ramadhan