Memaafkan: Studi Komparasi Perspektif Psikologi Barat dan Psikologi Islam

Kehidupan manusia penuh dengan kejadian dan peristiwa yang tidak terduga. Peristiwa dan kejadian tertentu kadang menyenangkan, kadang tidak menyenangkan, kadang sesuai harapan, kadang tidak.Dalam keadaan ini, seseorang perlu memahami tindakan orang lain dengan cara memaafkannya. Pengampunan tergolong sebagai kekuatan karakter dalam psikologi. Karakter baik itulah yang menuntun seseorang mencapai kebajikan, atau sifat-sifat positif yang tercermin dalam pikiran, perasaan, dan tindakan.

Kemampuan bersabar dalam menghadapi gangguan yang ditimbulkan oleh seseorang merupakan suatu kebiasaan yang sangat mulia, meskipun orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membalas dan memaafkan kesalahannya sendiri.gangguan ini muncul dalam berbagai bentuk.dalam beberapa kasus, penghinaan, pemukulan, dan pencabutan hak dapat terjadi. Tentu wajar jika seseorang menuntut haknya dan membalas dendam kepada orang yang telah menyakitinya.dan boleh dimaafkan bila seseorang mempunyai reaksi serupa terhadap keburukan orang lain.namun jika dia memaafkannya, alangkah mulia dan baik hasilnya. Memaafkan orang lain atas kesalahannya sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan atau bentuk penghinaan, namun yang terjadi justru sebaliknya.jika anda membalas dendam atas kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap Anda, sebenarnya tidak ada keutamaan di mata masyarakat. Namun jika seseorang memaafkan meski mampu membalasnya, maka ia menjadi mulia di hadapan Allah dan manusia.

Kemampuan menahan gejolak yang timbul pada umumnya sifat baik seseorang tidak muncul secara tiba-tiba.Perlu banyak proses pembelajaran, internalisasi dan pembiasaan kepribadian seseorang juga terbentuk oleh kontribusi faktor-faktor lain yang berinteraksi secara intensif dengannya, seperti keluarga, lingkungan sosial, dan agama.beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sikap memaafkan dengan religiusitas seseorang. Semakin tinggi pengalaman beragama seseorang, maka semakin besar pula kemungkinan pengampunan dalam dirinya.

Bacaan Lainnya

Kemampuan sabar menghadapi gangguan yang ditimbulkan namun, tidak semua penelitian menunjukkan pengaruh agama terhadap sikap memaafkan. studi pendahuluan yang dilakukan oleh Tsang, McCullough, dan Hyot (2005) menyatakan bahwa agama secara tidak langsung dapat mendatangkan pengampunan dalam diri seseorang karena pada dasarnya semua agama mengajarkan cinta dan kasih sayang serta mendorong sikap memaafkan. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang lemah antara religiusitas dan sikap memaafkan. Selain itu, dalam penelitian yang sama, Tsang, McCullough, dan Hyot (2005) menemukan bahwa religiusitas dapat mendorong orang untuk melakukan balas dendam. Hal ini memungkinkan religiusitas diterima sebagai alasan untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil meta-analisis Kurniati (2011) tentang hubungan religiusitas dan sikap memaafkan. Analisis ini menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara religiusitas dengan sikap memaafkan, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan sikap tidak memaafkan.

Penelitian ini memakai metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi literatur (library research), yaitu dengan menelaah berbagai literatur yang relevan guna memahami konsep pemaafan menurut pandangan psikologi Barat dan Islam. Data utama diperoleh dari sumber-sumber otoritatif seperti Al-Qur’an, kitab-kitab tafsir (misalnya Tafsir Al-Qurtubi, Ibnu Katsir, dan Al-Misbah), serta teori dari tokoh psikologi lainnya seperti Enright, Hall & Fincham, dan Worthington. Sedangkan data pendukung diambil dari berbagai referensi ilmiah seperti jurnal, buku, dan artikel lainnya. Proses analisis dilakukan dengan teknik analisis isi untuk mengkaji dan membandingkan pemaknaan pemaafan dari kedua sudut pandang secara mendalam.

Pemaafan menurut Islam dan Psikologi

Kata pemaafan berasal dari akar kata bahasa Arab al-‘afw. Kata al-‘afw -yang terdiri dari tiga partikel huruf, ‘ain, fa’, dan satu huruf mu’tal menurut Ibnu Faris, memiliki dua makna valid, yaitu; meninggalkan (tarkal-syai’) dan mencari/menuntut sesuatu (thalab). Kemudian muncul banyak derivasi darinya, yang tidak memiliki perbedaan signifikan dalam hal makna. Maka, ketika dikatakan ‘afw Allah ‘an khalqihi, berarti tarkuhu iyyahum fala yu’aqibhum (Allah membiarkan mereka, sehingga tidak menghukumnya). Al-Khalil mengatakan “setiap orang yang berhak mendapat hukuman, lalu engkau biarkan (tarakahu), maka engkau telah memaafkannya (‘afaw-ta ‘anhu)”. Dari kata al-’afwu juga muncul kata al-‘afiyah, yang berarti pembelaan atau penjagaan Allah terhadap hamba-Nya.

Kata “al-‘afw” diulang sebanyak 34 kali dalam Al-Qur’an, dimana 7.kali berhubungan dengan pengampunan.hal ini menunjukkan bahwa akhlak saling memaafkan merupakan bagian terpenting dalam kehidupan seorang muslim .artinya jika seseorang memaafkan atau tidak memaafkan orang yang berbuat salah, ada akibat tertentu.oleh karena itu, Al-‘afw (maaf) merupakan salah satu dari ciri orang yang bertaqwa kepada Allah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran dalam QS. Ali Imran: 134. ayat ini menggambarkan sikap seorang muslim yang shaleh dalam menghadapi orang yang berbuat zalim terhadapnya dengan tiga cara. ini tentang mengendalikan amarah Anda, memaafkan, dan berbuat baik kepada semua orang yang berbuat salah kepada Anda.

Afwu Dalam Qur’an Dan Relevansi Dengan Pemaafan Dalam Ilmu Psikologi (Kajian Tematik), dengan rumusan masalah bagaimana konsep Al Afwu dalam al-Qur’an serta bagaimana relevansi al Afwu dalam konsep psikologi dengan al-Qur’an. Memaafkan merupakan suatu hal yang biasa di kalangan umat beragama. Karakter-karakter terpuji memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas hidup. Memaafkan kesalahan orang lain seringkali dianggap sebagai sikap lemah dan kehinaan, padahal jika dikaji makna dan konsep dari memaafkan dalam al-Qur’an, hal itu berlaku sebaliknya. Sifat pemaaf menjadi hal terpenting dalam kehidupan, hal ini terdapat dalam semua ajaran agama, bahkan dalam hasil penelitian psikologi memaafkan atau forgiveness berdampak pada kebahagiaan psikologis, baik bagi si peminta maupun individu yang dimaafkan. Dampak bagi si peminta maaf adalah ia dapat memperoleh ketenangan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis melalui studi pustaka (library research). Penelitian pustaka bersumber dari data primer yang diperoleh dari sumber-sumber pokok yakni al-Qur’an dan kitab-kitab diantaranya kitab tafsir al-Qurtubi, kitab tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Azhar, al-Misbah. Data sekunder bersumber dari buku-buku terkait dengan studi ini. Terdapat beberapa ayat al-Qur’an sebagai objek penelitian ini QS. Ali Imran ayat 134, QS. An-Nur ayat 22, QS. Al-Shura ayat 40 dan QS. Al-Baqarah ayat 178.konsep pengampunan sebagai upaya untuk mengatasi dampak negatif dan penilaian terhadap mereka yang terluka dan juga sebagai tindakan untuk menghindari rasa sakit dengan menunjukkan kasih sayang. Kedua, relevansi antara Al-Afwu dalam Al-Qur’an dan Pengampunan, dapat dikatakan sebagai salah satu aspek psikologis yang juga mendukung tingginya tingkat kesadaran individu. Selain memaafkan dan menghapus kesalahan, juga perlu membalas kesalahan dengan kebajikan.

Pemaafan dalam Tradisi Islam

Kata al-‘afw terulang dalam Al-Quran sebanyak 34 kali. Menurut Quraish Shihab, kata ini pada mulanya berarti berlebihan (QS [2]: 219). Maksudnya, yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Keduanya menjadikan sesuatu yang tadinya berada di dalam (dimiliki) menjadi tidak di dalam dan tidak dimiliki lagi. Akhirnya kata al-‘afw berkembang maknanya menjadi keterhapusan. Memaafkan, berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.

Selanjutnya, beberapa ayat dalam al-Qur’an ternyata tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan agar meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah untuk memberi maaf, seperti surat Ali-Imran: 152 dan 155; surat al-Maidah: 95 dan l0l. Demikian juga yang dikesankan oleh sebuah ayat yang menganjurkan untuk tidak menanti permohonan maaf dari orang yang bersalah, melainkan hendaknya memberi maaf sebelum diminta. Mereka yang enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dan Allah (al-Nur: 22).

Sejarah telah mengilustrasikan dengan jelas bahwa pemaafan menjadi nilai dan prinsip dasar yang selalu dijunjung tinggi dalam Islam. Rasulullah saw seringkali mengingatkan dan mengajarkan untuk mencari anugerah yang besar dari Allah, salah satunya sabar dan memaafkan orang lain, meskipun mereka adalah musuh. Beberapa peristiwa besar dalam sejarah Islam masa nabi telah menggambarkan dengan jelas prinsip-prinsip pemaafan dalam Islam, yaitu: Piagam Madinah, Haji Wada’, peristiwa Tha’if, dan Fathu Makkah. Peristiwa Hijrah yang pada akhirnya menginspirasi perumusan Piagam Madinah (622 M) mencerminkan sebuah gentlement agreement dan terciptanya ummah, telah menjadi sebuah model kesepakatan yang melampaui batas-batas agama, suku, dan kelompok.

Dari sudut pandang hukum Islam, pengampunan merupakan salah satu dari topik KUHP Islam (Jnaya), yang dikenal dengan Jalima Qisadiyat. Keesas adalah tradisi yang berasal dari Arab pra-Islam. Al-Qur’an menyikapi praktik keisa dengan menanamkan nilai-nilai baru seperti keadilan, kesetaraan, moralitas, dan tanggung jawab pribadi. paradigma kisas Al-Qur’an menekankan pada prinsip moralitas sosial, khususnya rehabilitasi pelaku pembunuhan.hal ini dibuktikan dengan adanya alternatif hukuman yang ditentukan dalam Al-Qur’an , yaitu pembayaran diyat, pemberian pengampunan, dan penyelesaian masalah melalui perdamaian.tujuan dari hukuman alternatif ini adalah untuk menyelesaikan konflik dengan mengedepankan toleransi dan menghilangkan rasa dendam. hukuman qisas tidak hanya untuk melakukan kontrol sosial melalui pembalasan atas kejahatan, tetapi juga untuk menjaga manipulasi sosial, kelangsungan hidup manusia.

Pemaafan versi Psikologi Barat (Self-Forgiveness)

Tidak ada manusia sempurna, yang terlepas dari kesalahan. Dalam merespon kesalahan, ada individu yang cepat memakluminya, namun ada yang sampai di kondisi hingga individu mengutuk dan membenci dirinya sendiri atas kesalahan yang diperbuat. Kondisi ini bisa terjadi jika ada banyak tekanan yang dirasakan individu akibat kesalahan yang diperbuat. Perasaan mengutuk diri sendiri mungkin dilakukan individu dalam upaya mengatasi pengalaman terkait penyesalan atas kesalahan yang telah dilakukan. Penyesalan akan kesalahan kadang bisa membuat individu sampai mengisolasi diri dari orang lain atau bahkan membahayakan diri sendiri. Konsep pemaafan diri mulai menjadi perhatian ketika peneliti menemukan bahwa terkadang individu merasa bahwa orang yang paling sulit diampuni adalah diri sendiri (Woodyatt, Worthington, Wenzel, & Griffin, 2017).

Definisi awal pemaafan diri diajukan Enright (1996) yang mendefinisikan pemaafan diri sebagai kesediaan meninggalkan kebencian diri akan tujuan yang diakui salah, sambil memupuk belas kasih, kemurahan hati, dan cinta terhadap diri sendiri. Definisi lain dari Hall dan Fincham (2005; Worthington, 2013) bahwa pemaafan diri merupakan pengalaman menurunnya pikiran negatif dan peningkatan secara positif pada perasaan dan perilaku terhadap diri sendiri. Kemudian Cornish dan Wade (2015) mengartikan pemaafan diri sebagai proses ketika individu menerima tanggung jawab karena menyakiti orang lain, menyesal, merestorasi melalui perilaku yang dapat memperbaiki, serta berkomitmen kembali pada nilai- nilai. Sikap memaafkan diri meningkatkan rasa memiliki dan harga diri kita ketika merasa kesalahan atau kegagalan mengancam kebutuhan psikologis (Woodyatt et al., 2017). Berdasarkan pengertian beberapa ahli, peneliti menyimpulkan bahwa pemaafan diri adalah kebersediaan diri untuk menerima diri dengan meninggalkan kebencian pada diri sendiri, meningkatkan perasaan belas kasih pada diri, dengan melepaskan berbagai emosi yang dapat menekan diri sehingga dapat meningkatkan pikiran dan perasaan positif pada diri sendiri.

Self forgiveness perlu pelepasan emosi negatif yang diarahkan terhadap diri, gambaran dari filosofi memaafkan orang lain, sama halnya dengan proses yang bermula dengan adanya kebencian yang dirasakan seseorang pada orang yang berbuat salah padanya. Kebencian ini didapatkan karena pemikiran tentang hal yang disalahkan terhadap hal yang sudah terjadi dan adanya keinginan membalas dendam atau memberi hukuman. Ketika seseorang memberi maaf kepada orang lain yang berbuat kesalahan, maka ia terlepas dari rasa benci. Mengacu pada teori self forgiveness dapat diartikan sebagai pelepasan perasaan dendam dan kebencian yang dirasa oleh seseorang pada dirinya atas perbuatannya sendiri. Self forgiveness sebagai perubahan motivasi dimana terjadinya penurunan motivasi untuk terhindar dari stimulus yang terkait dengan perasaan sakit hati, turunnya motivasi balas dendam pada diri sendiri, dan diganti dengan meningkatnya motivasi bersikap penuh kebaikan terhadap diri.

Pada definisi lain self forgiveness sebagai strategi coping yang berfokusnya pada emosi yang membutuhkan pengurangan hal negatif melalui cara meningkatkan pemikiran, emosi, motivasi, dan perilaku positif kepada diri sendiri. Forgiveness (pemaafan) dapat mengacu kepada kesehatan mental. Orang yang mampu memaafkan diri sendiri cenderung mempunyai kesehatan mental lebih baik. Self forgiveness terjadi terhadap situasi saat seseorang menyadari sudah melakukan kesalahan serta bersedia bertanggung jawab dengan kesalahannya (Gamlund, E. (2014)) Self forgiveness adalah bagian penting dari sebuah kesehatan mental.

Aspek Self Forgiveness

Aspek Kognitif Respon kognitif adalah respon yang berkaitan erat dengan pengetahuan keterampilan dan informasi seseorang mengenai sesuatu. Respon kognitif seseorang yang secara sadar dilakukan saat seseorang ingin memperbaiki dirinya, menggantikan dirinya yang buruk dengan yang lebih baik dan bermakna, perilaku memaafkan diri sendiri akan dilakukan secara total.

Aspek Afektif Respon emosi yang dimunculkan seseorang saat melakukan proses pemaafan. Respon emosi ini adalah bentuk empati yaitu kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan, merasa kasihan dan cinta pada diri sendiri, yang dirasakan oleh seseorang tersebut.

Aspek Perilaku Respon perilaku yang muncul pada seseorang untuk memberikan maaf kepada diri sendiri.

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Self Forgiveness

Faktor-faktor yang mempengaruhi self forgiveness ada dua yaitu faktor pendorong dan penghambat. Dua faktor ini dibagi menjadi dua kategori antara lain internal dan eksternal. Faktor pendorong yaitu internal berasal dari dalam diri seseorang saat melakukan proses pemaafan. Hal ini dicontohkan melalui kepribadian yang bersyukur, kepedulian terhadap orang terdekat, keterbukaan, mempunyai perasaan bersalah. Dimulai dengan perasaan bersalah seseorang yang merupakan akibat dari tindakannya. Hal ini muncul dengan perasaan syukur sebagai bentuk atas penerimaan diri terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor pendorong eksternal muncul dari luar diri yaitu persepsi yang muncul saat kejadian dan sesudah peristiwa yang menyakitkan. Yaitu seperti dukungan sosial dari keluarga dan orang terdekat, pujian dari orang lain.

Faktor penghambat internal muncul dari dalam diri yaitu suatu perasaan marah atau permusuhan yang terus ada pada suatu hal. Selain itu, rasa takut hingga cemas sebagai reaksi pada stressor juga menghambat seseorang untuk memaafkan. Faktor penghambat eksternal yang muncul dari luar diri yaitu pengulangan perilaku yang menjadi sebab munculnya rasa menyesal atau emosi negatif, tidak adanya dukungan sosial dari keluarga dan orang lain, tidak ada respon yang positif dari orang lain, lingkungan sosial yang buruk.Proses Self forgiveness tidak berjalan dengan linier dan berbeda setiap orang. Proses yang ada pada setiap orang terjadi secara bolak-balik dari setiap tahapan, tidak berurutan, bahkan berulang dengan alur yang tidak menentu.

Pemaafan versi Psikologi Barat vs Pemaafan versi Psikologi Islam

Berbagai pandangan mengenai pemaafan telah dibahas sejak lama. Awalnya konsep Pemaafan sebagai sebuah karakter dalam diri manusia yang secara kuat mengekspresikan kecenderungan untuk memahami kesalahan orang lain, menghindari balas dendam, selalu memelihara hubungan baik dengan sesama, dan menciptakan kedamaian dan keselamatan bagi semua. Namun seiring berjalannya waktu,agama secara tidak langsung dapat mendatangkan pengampunan dalam diri seseorang karena pada dasarnya semua agama mengajarkan cinta dan kasih sayang serta mendorong sikap memaafkan. Tsang, McCullough, dan Hyot (2005). Dalam kajian ini, kami menggunakan teori syukur yang dikembangkan oleh . Sementara dari perspektif Islam, peneliti menggunakan pandangan dari .Sebelum membandingkan kedua perspektif ini secara lebih rinci, berikut kami tampilkan dalam tabel masing-masing konsep beserta aspek-aspeknya, dari perspektif Psikologi Islam dan Psikologi Barat.

Definisi Konstruk Pemaafan Versi Barat

Penulis Konstruk Definisi
Hall dan Fincham (2005) Pemaafan Diri Pemaafan diri merupakan pengalaman menurunnya pikiran negatif dan peningkatan secara positif pada perasaan dan perilaku terhadap diri sendiri.
Enright (1996) Pemaafan Diri Pemaafan diri sebagai kesediaan meninggalkan kebencian diri akan tujuan yang diakui salah, sambil memupuk belas kasih, kemurahan hati, dan cinta terhadap diri sendiri.
Cornish dan Wade (2015) Pemaafan Diri Pemaafan diri sebagai proses ketika individu menerima tanggung jawab karena menyakiti orang lain, menyesal, merestorasi melalui perilaku yang dapat memperbaiki, serta berkomitmen kembali pada nilai- nilai.

Definisi Konstruk Pemaafan Versi Psikologi Islam

Penulis Konstruk Definisi
Quraish Shihab,
Pemaafan Diri Memaafkan, berarti menghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.

Al-Khalil Pemaafan Diri Setiap orang yang berhak mendapat hukuman, lalu engkau biarkan (tarakahu), maka engkau telah memaafkannya (‘afaw-ta ‘anhu)”.
Al Maraghi
Pemaafan Diri Al ‘afwu memiliki makna meningkatkan ketakwaan, kebaikan, istimewa, Sanksi/ hukuman, ampunan disertai dengan taubat, bukan lagi pemaafan dan pengampunan, dan bermakna pengampunan. Dan yang terakhir adalah tujuan dari Al ‘afwu ialah agar manusia selalu melakukan perbuatan yang baik agar senantiasa bersyukur.

Aspek-Aspek Pemaafan Versi Barat

Penulis Aspek
Muhammad Shohib (2015) Aspek Kognitif Respon kognitif adalah respon yang berkaitan erat dengan pengetahuan keterampilan dan informasi seseorang mengenai sesuatu. Respon kognitif seseorang yang secara sadar dilakukan saat seseorang ingin memperbaiki dirinya, menggantikan dirinya yang buruk dengan yang lebih baik dan bermakna, perilaku memaafkan diri sendiri akan dilakukan secara total.
Aspek Afektif Respon emosi yang dimunculkan seseorang saat melakukan proses pemaafan. Respon emosi ini adalah bentuk empati yaitu kemampuan untuk memahami apa yang dirasakan, merasa kasihan dan cinta pada diri sendiri, yang dirasakan oleh seseorang tersebut.
Aspek Perilaku Respon perilaku yang muncul pada seseorang untuk memberikan maaf kepada diri sendiri.

Aspek-Aspek Pemaafan Versi Psikologi Islam

NO AL-QUR’AN ASPEK PEMAAFAN
1 Ali Imran: 134
Menahan amarah, memaafkan kesalahan, dan berbuat baik terhadap siapapun yang berbuat kesalahan
2 Al-Nur: 22 Berlapang dada dan keluasan hati
3 Al-Syura: 40
Menghapus kesalahan orang lain, melupakan masa lalu yang menyakitkan hati, dan takfir (menutup kesalahan orang lain)
4 Al-Hijr: 85 Membuka lembaran baru, dan memperbaiki hubungan menjadi indah (harmonis)
5 Al-Zukhruf: 89 Mewujudkan kedamaian dan keselamatan bagi semua pihak
6 Al-Baqarah: 219 Menjadi pemaaf
7 Al-Baqarah: 178 Bagi yang dimaafkan, mengikuti keinginan/permintaan korban (bekerjasama, rekonsiliasi) dan memberikan ganti rugi (diyat) dengan baik

Berdasarkan tabel sebelumnya dapat dipahami secara umum, Pemaafan versi Barat dan Islam memiliki pemaknaan yang hampir sama, yakni menyadari sebuah karakter dalam diri manusia yang secara kuat mengekspresikan kecenderungan untuk memahami kesalahan orang lain, menghindari balas dendam, selalu memelihara hubungan baik dengan sesama, dan menciptakan kedamaian dan keselamatan bagi semua. Namun, jika ditinjau lebih jauh, kedua konsep ini memiliki beberapa perbedaan yang sangat mendasar.Terdapat perbedaan mendasar antara rasa Pemaafan versi Barat dan Islam pada kejelasan definisi, penekanan pada penerimaan, objek rasa syukur, objek rasa syukur, dan tindakan bersyukur. Perbedaan pertama ada hubungannya dengan definisi Pemaafan versi Barat dan Islam. Perbedaan pertama ada hubungannya dengan definisi syukur versi Barat dan Islam.

Dalam Counseling within the forgiveness triad, penulis teori ini Enright (1996) menjelaskan bahwa definisi Barat tentang Pemaafan tidak dapat dibangun dari penjelasan yang komprehensif.Hal ini karena rasa pemaafan versi Barat adalah fenomena yang kompleks dan berlapis-lapis sehingga tidak memiliki definisi yang memadai untuk menjelaskannya .dalam Islam, Al-Quran dan Sunnah dapat dipahami memberikan definisi lengkap tentang pemaafan versi Islam. beberapa surat di alquran dan pandangan para ahli pemaafan dengan penjelasan serupa, dan meskipun konsep tersebut telah tercatat sejak tahun 1400, namun tetap relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.

Kedua, dalam literatur psikologi modern,bentuk penerimaan atau acceptance pada pemaafan versi Barat kurang dibahas. Sementara dalam konteks Islam, penerimaan terhadap segala sesuatu yang berasal dari Allah Swt. sangat ditekankan. Penerimaan dimaknai kepada hal yang disukai ataupun dibenci.Bahkan derajat pemaafan yang lebih tinggi adalah ketika seseorang memahami bahwa allah menyayangi mereka “Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pemaafan lagi Maha Pengampun” (QS al-Hajj:60). Penerimaan tersebut dapat mengarahkan individu untuk memaknai hal yang menyakitkan tersebut sebagai tanda kasih sayang dari Allah Swt., sehingga individu merasa perlu untuk berterima kasih. “Dan adalah Allah Maha Pemaafan lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisa’:99).

Ketiga, perbedaan berdasarkan pemaknaan objek maaf atau hal yang diterima. pemaafan versi Barat dalam psikologi memfokuskan pada bagaimana individu memaafkan dirinya sendiri atas apa yang telah ia miliki dan atas hal yang terjadi yang ia dapatkan maupun ia rasakan. Pada pemaafan konsep Islam tidak sekedar memaafkan atas hal-hal yang bersifat individu saja, akan tetapi hal yang mencakup pribadi orang lain sekalipun. Hal ini dikarenakan pemaafan dalam Islam menekankan pada pemaknaan, segala hal yang diterima baik disukai atau dibenci, dimaknai sebagai nikmat dan kasih sayang yang diberikan Allah Swt.

Self Forgiveness Dalam Pandangan Psikologi Humanistik

Self-forgiveness atau pengampunan dapat menjadi faktor penting dalam mengatasi kesulitan emosional dan psikologis yang terkait dengan sebuah situasi. Menurut Walton (2005) forgiveness merupakan karakter positif yang membantu menurunkan ego agar tercapainya keharmonisan dan menjadi lebih tenang dalam menjalani kehidupannya. Walton juga mengatakan bahwa forgiveness dapat memperbaiki hubungan interpersonal dengan berbagai situasi permasalahan. Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa proses pemaafan merupakan berubahnya karakter negatif menjadi positif yang dirasakan dan dialami seseorang yang tersakiti kepada orang yang menyakitinya. Beberapa penelitian telah meneliti peran forgiveness dalam mengurangi kesulitan emosional.

Dalam pandangan psikologi humanistik, konsep self-forgiveness mengacu pada kemampuan individu untuk memaafkan diri sendiri atas kesalahan atau kegagalan yang telah dilakukan. Psikologi humanistik menekankan pada pengembangan potensi manusia, pertumbuhan pribadi, dan pencapaian kebahagiaan. Dalam hal ini, self-forgiveness dianggap sebagai bagian penting dari proses pengembangan diri yang sehat dan kesehatan mental.Abraham Maslow mengemukakan bahwa manusia memiliki naluri untuk mencapai potensi penuh mereka. Dalam pandangan Maslow, self-forgiveness masuk ke dalam ranah psikologi humanistik dengan pembahasan tentang self-healing atau penyembuhan diri .

Self-forgiveness juga dapat membantu individu untuk belajar dari kesalahan dan tumbuh sebagai pribadi yang lebih baik. self-forgiveness juga dapat dikaitkan dengan konsep pengembangan diri yang holistik. Dalam psikologi humanistik menekankan pentingnya melihat individu sebagai kesatuan yang utuh, yang mencakup aspek-aspek fisik, emosional, sosial, dan spiritual. Sehingga self-forgiveness dapat membantu individu dalam pertumbuhan pribadi yang menyeluruh dan mencapai kebahagiaan yang lebih baik

Menurut Bastaman hidup bermakna adalah gerbang menuju kebahagiaan. Ia adalah corak kehidupan yang menyenangkan, penuh semangat, bergairah, serta jauh dari rasa cemas dan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari.Hal ini terjadi sebagai akibat dari terpenuhinya nilai-nilai dan tujuan hidup yang positif dan benar-benar didambakan. Kehidupan pribadi yang bermakna ditandai oleh adanya aspek-aspek berikut ini pada diri seseorang, yaitu: hubungan antar pribadi yang harmonis, saling menghormati, dan saling menyayangi;kegiatan-kegiatan yang disukai dan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat buat orang lain; kemampuan mengatasi berbagai kendala kehidupan dan menganggap kendala ini bukan sebagai masalah, tetapi sebagai peluang dan tantangan; tujuan hidup yang jelas sebagai pedoman dan arahan kegiatan yang dilandasi oleh keimanan yang mantap; rasa humor yang tinggi, yaitu mampu melihat secara humoristis pengalaman-pengalaman sendiri, termasuk pengalaman hidup yang tragis; secara sadar berusaha meningkatkan taraf berpikir; bertindak positif, mengembangkan potensi diri, yang meliputi fisik,mental, emosi, sosial, dan spiritual, secara seimbang, untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik dan meraih citra diri yang diidam-idamkan; dan melandasi semua hal yang di atas dengan do’a, ibadah, dan niat yang suci.

Perbandingan antara Al Afwu dan Self-Forgiveness dalam Psikologi Humanistik

Dalam bahasa Arab kata al-Afwu, yang diterjemahkan sebagai “pengampunan”, mengacu pada kemampuan seseorang untuk memaafkan orang lain yang telah melakukan kejahatan atau menyakiti mereka. Dalam halnya psikologi humanistik, al afwu melibatkan proses emosional dan kognitif yang mengubah sikap negatif seseorang terhadap sebuah kesalahan atau kejahatan menjadi lebih positif dan penuh pengertian. Self-forgiveness, sebaliknya, adalah sebuah konsep yang mengacu pada kemampuan seseorang untuk memaafkan diri sendiri atas kesalahan yang telah dilakukannya sehingga jika kita telaah dari perspektif psikologi humanistik, pengampunan diri dianggap sebagai langkah penting menuju pemulihan dan pertumbuhan pribadi. Proses ini melibatkan pengakuan dan penerimaan kesalahan Anda dan kesediaan untuk memaafkan diri sendiri dan menjalani hidup dengan sikap yang lebih positif. Meskipun al-Afwu dan self-forgiveness memiliki kesamaan dalam paradigma psikologi humanistik, perbedaan mendasar terletak pada fokus keduanya. Jika al-Afwu berfokus pada aspek memaafkan terhadap orang lain, maka memaafkan diri sendiri berfokus pada proses memaafkan diri sendiri. Keduanya merupakan proses kompleks yang dapat mendukung individu untuk mencapai kesehatan mental optimal dan pertumbuhan pribadi yang berkelanjutan.

Pendekatan behavioristik dalam Al – Afwu dan Self-Forgiveness

Behavioristik merupakan suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Pavlov dan Skinner. Skinner adalah salah satu ahli waris behaviorisme yang dikembangkan Watson. Dia sependapat dengan Watson, bahwa tidaklah produktif untuk menjelaskan sesuatu dengan merujuk pada struktur yang tidak dapat diamati secara langsung. Bagi Skinner istilah kepribadian tidak ada, yang ada adalah perilaku, perilaku sepenuhnya dapat dipahami karena merupakan tanggapan terhadap faktor-faktor dari lingkungan. Skinner lebih menekankan subjek penelitian yang bersifat individu. Fokus utama dalam konsep Behaviorisme adalah perilaku yang terlihat dan penyebab luar yang menstimulasinya serta pentingnya control terhadap perilaku. Konsep utama behavioristik adalah berfokus pada tingkah laku yang kelihatan, ketepatan dalam menyusun tujuan tujuan treatment, perumusan rencana-rencana treatment yang spesifik, dan evaluasi yang lebih objektif berkaitan dengan hasil-hasil konseling.

Behavioristik merupakan suatu pendekatan terapi tingkah laku yang berkembang pesat dan sangat populer, dikarenakan memenuhi prinsip prinsip kesederhanaan, kelogisan, mudah dipahami dan diterapkan, serta adanya penekanan perhatian pada perilaku yang positif.Pendekatan Behavioristik adalah suatu pandangan ilmiah tentang tingkah laku manusia, dalil dasarnya adalah bahwa tingkah laku itu tertib dan bahwa eksperimen yang dikendalikan dengan cermat akan mengungkapkan hukum-hukum yang mengendalikan tingkah laku. Pendekatan behavioristik adalah suatu pendekatan psikologi yang berpendirian bahwa organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis, dimana perilaku adalah hasil pengalaman dan perilaku dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan. Menurut A. Supratikna pendekatan Behavioristik adalah pendekatan yang menerapkan prinsip penguatan stimulus respon. Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan semakin kuat apabila diberi penguatan. Penguatan tersebut terbagi atas penguatan positif dan penguatan negatif.

Teori belajar behaviorisme berorientasi pada hasil yang dapat diukur, diamati, dianalisis, dan diuji secara obyektif. Pendekatan ini memiliki kontribusi dalam mencapai perubahan pemikiran, perasaan dan pola perilaku bagi individu (Sanyata,2012). Pengulangan dan pelatihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behaviorisme adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative. Evaluasi atau penilaian didasarkan pada perilaku yang tampak.

Al Afwu dalam Pandangan Psikologi Behavioristik.

Teori yang mempelajari perilaku manusia. Perspektif behavioral berfokus pada peran dari belajar dalam menjelaskan tingkah laku manusia dan terjadi melalui rangsangan berdasarkan (stimulus) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respons) hukum-hukum mekanistik. Asumsi dasar mengenai tingkah laku menurut teori ini adalah bahwa tingkah laku sepenuhnya ditentukan oleh aturan, bisa diramalkan, dan bisa ditentukan. Dalam hal ini pandangan behavioristik, Al-Afwu (pengampunan) dapat dipahami sebagai perilaku yang dipelajari melalui pengalaman dan pembiasaan. Misalnya, seseorang yang sering memaafkan orang lain dalam kehidupan sehari-hari mungkin telah mempelajari perilaku tersebut melalui pengalaman-pengalaman sebelumnya dan menghubungkannya dengan manfaat atau kepuasan yang diperoleh dari memaafkan (Muktar, 2019) dan Individu yang memiliki kecenderungan untuk memaafkan mungkin telah mengasosiasikan tindakan memaafkan dengan manfaat positif atau kepuasan pribadi. Misalnya, mereka mungkin telah mengalami perubahan positif dalam hubungan interpersonal mereka setelah memaafkan, atau merasakan beban emosional yang berkurang setelah melepaskan dendam. Dengan demikian, melalui proses pembelajaran ini, individu tersebut secara bertahap menginternalisasi nilai dan manfaat dari tindakan memaafkan, yang kemudian membentuk bagian dari repertoar perilaku mereka dalam berinteraksi dengan orang lain.

Sehingga makna al-afwu dalam aliran ini lebih menitik beratkan pada mempelajari perbuatan manusia bukan dari kesadarannya, melainkan mengamati perbuatan dan tingkah laku yang berdasarkan kenyataan. Pengalaman-pengalaman batin di kesampingkan serta tingkah laku pada yang dipelajari. Oleh sebab itu, behaviorisme adalah ilmu jiwa tanpa jiwa. Kedua, segala perbuatan dikembalikan kepada refleks. Behaviorisme mencari unsur-unsur yang paling sederhana yakni perbuatan-perbuatan bukan kesadaran yang dinamakan refleks. Refleks adalah reaksi yang tidak disadari terhadap suatu pengarang. Manusia dianggap sesuatu yang kompleks refleks atau suatu mesin. Ketiga, behaviorisme berpendapat bahwa pada waktu dilahirkan semua orang adalah sama. Menurut behaviorisme manusia hanya makhluk yang berkembang karena kebiasaan-kebiasaan, dan ajaran agama dapat mempengaruhi reflek keinginan hati (Nahar, 2016).

Self Forgiveness dalam Pandangan Psikologi Behavioristik.

Teori Behavioristik berangkat dari asumsi bahwa individu tidak membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan oleh lingkungan. Teori ini tidak mengakui sesuatu yang sifatnya mental, perkembangan anak menyangkut hal hal nyata yang dapat dilihat dan diamati. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman (Rusli, 2014). Dalam hal ini Sumadi Suryabrata (1990) memberikan ciri-ciri teori behavioristik sebagai berikut:

Perkembangan tingkah laku seseorang itu tergantung pada belajar.
Mementingkan bagian-bagian atau elemen-elemen, tidak keseluruhan.
Mementingkan reaksi dan mekanisme “Bond”, refleks dan kebiasaan-kebiasaan (Ahmadi, 1998:43).
Ber Tinjauan historis, artinya segala tingkah lakunya terbentuk karena pengalaman dan latihan (Suryabrata, 1990: 256).

Dalam hal ini konsep behavioristik memandang bahwa perilaku individu merupakan hasil belajar yang dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasikan kondisi-kondisi belajar dan didukung dengan berbagai penguatan (reinforcement) untuk mempertahankan perilaku atau hasil belajar yang dikehendaki (Sanyata, 2012: 3). Semuanya itu timbul setelah manusia mengalami kontak dengan alam dan lingkungan sosial budayanya dalam proses pendidikan. Maka individu akan menjadi pintar, terampil, dan mempunyai sifat abstrak lainnya tergantung pada apakah dan bagaimana ia belajar dengan lingkungannya.

Self-forgiveness dapat dijelaskan melalui berbagai konsep behavioristik. Faktor-faktor seperti reinforcement dan punishment memainkan peran penting, di mana penerimaan dan dukungan dari lingkungan berperan sebagai penguatan positif, sementara kritik dan penolakan dapat berperan sebagai hukuman. Selain itu, modeling atau pembelajaran melalui contoh dari lingkungan dapat membentuk perilaku self-forgiveness, sementara shaping dan chaining memperlihatkan bahwa proses ini mungkin melibatkan langkah-langkah bertahap. Konsep generalisasi dan diskriminasi juga relevan, di mana individu yang tumbuh dalam lingkungan mendukung dapat lebih mudah mengaplikasikan self-forgiveness ke berbagai konteks kehidupan. self-forgiveness dapat dipahami sebagai suatu proses yang melibatkan pemahaman, refleksi, dan perubahan perilaku. Individu dapat mengambil langkah-langkah konkret untuk mengembangkan kapasitas untuk memaafkan diri sendiri, sejalan dengan prinsip-prinsip behaviorisme.

Perbandingan antara Al Afwu dan Self-Forgiveness dalam Psikologi Behavioristik

Dalam kerangka psikologi behavioristik, perlu dicatat perbedaan esensial antara konsep Al Afwu dan Self-Forgiveness. Al Afwu, yang berasal dari bahasa Arab, menggambarkan tindakan pengampunan yang dilakukan oleh individu terhadap orang lain. Proses ini tidak hanya mencakup penghapusan perasaan negatif seperti kemarahan, dendam, atau kebencian terhadap pihak yang melakukan kesalahan, tetapi juga mencakup perubahan fundamental dalam sikap dan perilaku individu terhadap orang yang bersangkutan. di sisi lain, Self-Forgiveness, yang merupakan istilah dalam bahasa Inggris, merujuk pada tindakan pengampunan yang diarahkan pada diri sendiri. Proses ini melibatkan penyingkiran perasaan negatif seperti penyesalan, rasa bersalah, atau dendam terhadap diri sendiri sebagai respons terhadap kesalahan yang telah dilakukan. Self-Forgiveness tidak hanya mencakup pembebasan diri dari beban emosional yang merugikan, tetapi juga melibatkan transformasi sikap dan perilaku individu terhadap dirinya sendiri.

Meskipun konsep Al Afwu dan Self-Forgiveness memiliki titik persamaan dalam hal penghilangan perasaan negatif dan perubahan sikap serta perilaku, perbedaan mendasar terletak pada objek pengampunan. Al Afwu fokus pada pengampunan terhadap orang lain yang telah melakukan kesalahan, sementara Self-Forgiveness berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengampuni dirinya sendiri atas kesalahan yang telah terjadi. Pemahaman mendalam terhadap kedua konsep ini penting dalam konteks psikologi behavioristik untuk merinci dan memahami dinamika pengampunan dalam konteks interpersonal dan intrapersonal (Mustaqim, 2016).

Pendekatan behavioristik dalam konteks Al-Afwu (Maha Pemaaf) dan self-forgiveness melibatkan pemahaman tentang bagaimana perilaku manusia dapat dipengaruhi oleh konsep pemaafan, baik dari segi keagamaan (Al-Afwu) maupun dari perspektif pengembangan pribadi (self-forgiveness). Berikut adalah cara pendekatan behavioristik dapat diterapkan dalam konteks ini :

Al-Afwu (Maha Pemaaf) :

Penguatan Positif:
Al-Afwu: Pemaafan dari Allah bisa dipandang sebagai bentuk penguatan positif. Dalam pendekatan behavioristik, memberikan pemaafan dapat memperkuat perilaku positif, seperti ketaatan dan kebaikan.

Hukuman dan Pembelajaran:
Al-Afwu: Allah memberikan pengampunan sebagai respons terhadap tindakan yang keliru. Dalam konteks ini, pemahaman konsekuensi dari tindakan dapat diinterpretasikan sebagai bentuk pembelajaran dan hukuman.

Kondisioning Operant:
Al-Afwu: Penerimaan ampunan dari Allah dapat dipandang sebagai hasil dari kondisioning operant, di mana tindakan-tindakan baik dan taat menjadi perilaku yang diperkuat melalui ampunan dan rahmat.

Self-Forgiveness :

Penguatan Positif dan Penghargaan Diri:
Self-Forgiveness: Dalam pendekatan behavioristik, individu dapat memperkuat perilaku self-forgiveness dengan memberikan penguatan positif pada diri sendiri dan menghargai langkah-langkah positif yang diambil untuk memaafkan diri sendiri.

Pengaruh Lingkungan dan Model Peran:
Self-Forgiveness: Lingkungan sosial dan model peran memiliki pengaruh pada pembentukan perilaku self-forgiveness. Melihat orang lain yang telah memaafkan diri sendiri dapat memberikan contoh dan menjadi penguatan positif.

Proses Pembelajaran dan Pembiasaan:
Self-Forgiveness: Melalui proses pembelajaran, individu dapat membiasakan diri untuk memahami bahwa kesalahan adalah bagian dari kehidupan. Penerimaan dan self-forgiveness dapat dianggap sebagai hasil dari pembelajaran dan adaptasi terhadap pengalaman hidup.

Manipulasi Lingkungan untuk Perubahan Perilaku:
Self-Forgiveness: Dalam pendekatan behavioristik, individu dapat memanipulasi lingkungan mereka untuk menciptakan kondisi yang mendukung perubahan perilaku positif, termasuk menerapkan self-forgiveness sebagai cara untuk memperbaiki diri sendiri.

Pendekatan behavioristik dalam konteks ini memberikan gambaran tentang bagaimana penguatan, pembelajaran, dan lingkungan dapat mempengaruhi dan membentuk perilaku pemaafan, baik dalam konteks keagamaan (Al-Afwu) maupun dalam proses self-forgiveness dari perspektif psikologi.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep pemaafan dalam perspektif modern dan perspektif Islam keduanya memiliki makna yang serupa, yakni menyadari segala segala kesalahan dan mengungkapkan rasa memaafkan entah itu terhadap individu atau orang lain. Perbedaan mendasar antara pemaafan versi Barat dan Islam di antaranya pemaafan dalam Islam memberikan penekanan pada pemaafan tidak hanya sebatas ke diri sendiri melainkan memaafkan kepada orang lain atas hal hal yang didasari kecintaan kepada allah swt. Pada konsep Islam rasa pemaafan ditujukan secara khusus kepada Allah dan dibuktikan melalui perbuatan yang memanfaatkan nikmat dari Allah untuk kebaikan.

Disusun Oleh:
Zunita Melia
Mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Prof.DR Hamka, Jakarta

Pos terkait