DEPOKPOS – Isu kesejahteraan keluarga kembali menjadi sorotan setelah viralnya video Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan seorang ayah dari sebelas anak di media sosial. Kisah ini membuka mata kita tentang pentingnya perencanaan keluarga dan tanggung jawab sebagai orang tua.
Diketahui bahwa sang ayah, yang saat ini tidak bekerja karena alasan kesehatan, tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai kepala keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarganya. Sementara itu, justru anak-anaknya yang turun tangan membantu perekonomian keluarga dengan menjual kue buatan sang ibu secara keliling. Mereka hanya mengandalkan penghasilan yang tidak tetap dari hasil jualan kue tersebut. Seringkali, keluarga ini kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hariannya. Bahkan, mereka pernah tidak makan seharian ketika dagangan tidak laku.
Ketika ditanya mengenai kondisi ini, sang ayah justru dengan santai menjawab bahwa mereka terbiasa meminta bantuan dari pemilik kontrakan atau berutang ke warung. Sikap ini menunjukkan pengabaian terhadap peran sebagai kepala keluarga. Padahal, dalam konteks perlindungan hak anak, negara sudah menyediakan banyak banyak program seperti bantuan sosial dan program keluarga berencana. Ketika kebutuhan dasar tidak bisa dipenuhi, seharusnya muncul kesadaran untuk mencari solusi nyata, bukan bergantung pada belas kasihan orang lain.
Yang membuat miris, semua anak dalam keluarga ini memiliki sikap yang baik dan cerdas. Walaupun hanya mengikuti pendidikan paket, mereka tetap bisa tumbuh dengan baik, memiliki semangat belajar membaca, menulis, dan mengaji, yang diajarkan langsung oleh orang tuanya. Ini menunjukkan bahwa potensi yang dimiliki anak-anak ini besar, namun kurangnya dukungan dari ekonomi keluarga dan kondisi sosial ini yang menjadi hambatan bagi masa depan mereka.
Ironisnya lagi, sang ayah mengaku sebenarnya sudah pernah mencoba program keluarga berencana (KB), namun tidak berhasil. Mereka mengklaim telah mencoba berbagai metode termasuk obat herbal, namun tetap memiliki anak. Sang ayah menyebutnya sebagai “kuasa Tuhan”.
Saat Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat, menawarkan bantuan berupa pekerjaan bagi sang ayah sebagai pengajar anak-anak dari keluarga kurang mampu, tetapi sang ayah menanggapinya dengan enggan. Padahal, pekerjaan tersebut sudah mencakup gaji dan tempat mengajarnya. Sang ayah menyatakan bahwa ia lebih berharap “gaji dari tuhan” daripada dari manusia, dan meminta waktu untuk berpikir melalui salat istikharah. Penolakan ini pun menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat.
Saya menilai bahwa sikap sang ayah bukan hanya tidak realistis, tetapi juga tidak adil bagi anak-anaknya. Tawaran pekerjaan merupakan kesempatan emas untuk memperbaiki kehidupan, dan menolaknya hanya karena alasan tidak mau KB menunjukkan bahwa pilihan pribadi lebih diutamakan daripada kesejahteraan anak.
Masalah menjadi lebih kompleks ketika syarat untuk mendapatkan bantuan dari Dedi Mulyadi adalah sang ayah harus bersedia mengikuti program KB yang benar-benar efektif, seperti vasektomi. Namun, sang ayah tampaknya menolak secara halus. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: sampai sejauh mana pilihan pribadi orang tua dapat dibenarkan jika mengorbankan hak dasar anak-anaknya?
Usulan mengenai KB, terutama vasektomi, memang menuai pro dan kontra di masyarakat. Ada yang menilai bahwa ini merupakan bentuk tanggung jawab seorang ayah dalam membatasi keturunan demi kesejahteraan keluarga. Namun, ada pula yang menolak dengan alasan keyakinan agama atau prinsip pribadi. Meski demikian, diskusi ini membuka ruang penting tentang bagaimana negara dan masyarakat memandang kesejahteraan anak sebagai prioritas.
Dalam kasus ini, sangat terlihat bahwa keputusan orang tua apapun alasannya dapat berdampak langsung kepada kualitas hidup anak-anak mereka. Ketika kebutuhan dasar seperti makan, pendidikan, dan kesehatan tidak terpenuhi secara layak, maka hak-hak anak menjadi terabaikan. Anak tidak boleh dijadikan tameng untuk mempertahankan pilihan orang tua yang sebenarnya bisa diubah demi kebaikan bersama.
Saya percaya bahwa sudah saatnya masyarakat lebih terbuka dalam memahami bahwa perencanaan keluarga bukanlah bentuk melawan takdir, melainkan usaha manusia untuk menjaga amanah Tuhan: anak-anak yang lahir harus tumbuh dalam kondisi yang layak, bahagia, dan penuh kasih sayang.
Dengan segala keterbatasan dan kelebihan, orang tua tetap punya kewajiban untuk memastikan bahwa pilihan hidup mereka tidak melukai masa depan anak-anaknya.
Diza Nabilla
Mahasiswa S1 Akuntansi Semester 2, Universitas Pamulang
