Islam di Tengah Perubahan Zaman: Haruskah Didekati dengan Cara Baru?

DEPOKPOS – Perubahan zaman tidak bisa dihindari. Dunia terus bergerak, melewati era agraris, industri, dan kini memasuki era digital dan kecerdasan buatan. Di tengah percepatan tersebut, muncul pertanyaan mendasar: apakah ajaran Islam yang telah berusia lebih dari 14 abad masih relevan? Ataukah perlu pendekatan baru dalam memahami dan mengamalkannya?

Mata kuliah Pengantar Studi Islam tidak hanya memperkenalkan ajaran-ajaran dasar Islam, tetapi juga mengajarkan bagaimana Islam dikaji, ditafsirkan, dan dihayati dalam berbagai konteks zaman. Pertanyaannya bukan hanya tentang perubahan hukum, tetapi bagaimana kita memahami sumber-sumber Islam dengan pendekatan yang dinamis, kontekstual, dan tetap berakar pada nilai-nilai universalnya.

Perkembangan Studi Islam di Dunia Islam Klasik dan Modern

Bacaan Lainnya

Era Klasik (abad ke-7 hingga abad ke-13 M)

Pada periode klasik, Studi Islam berkembang sangat pesat seiring dengan perluasan wilayah Islam dan munculnya pusat-pusat keilmuan seperti Baghdad, Kairo, Kufah, Basrah, dan Damaskus.

Ciri khas perkembangan di era ini:

Dominasi pendekatan normatif-teologis, di mana fokus utamanya adalah memahami Al-Qur’an, Hadis, fikih, akidah, dan tasawuf secara tekstual dan doktriner.

Munculnya mazhab-mazhab hukum Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), serta pemikiran kalam dari mazhab-mazhab seperti Asy’ariyah dan Muktazilah.

Pendirian lembaga pendidikan seperti madrasah Nizamiyah oleh Nizam al-Mulk di Baghdad, yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional (logika, filsafat, kedokteran).

Tokoh-tokoh seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Al-Farabi mengintegrasikan ilmu agama dengan filsafat dan logika Yunani.

Studi Islam di era klasik bersifat komprehensif: mengintegrasikan ilmu-ilmu agama (naqliyah) dan ilmu-ilmu rasional (aqliyah).

Era Modern (abad ke-19 hingga sekarang)

Perubahan besar terjadi ketika dunia Islam bersentuhan dengan kolonialisme dan modernisme Barat. Hal ini memunculkan gerakan pembaharuan dalam pemikiran Islam.

Karakteristik dari era ini:

Kritik terhadap tradisionalisme dan kebangkitan semangat ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman.

Munculnya tokoh-tokoh pembaharu seperti:

Jamaluddin al-Afghani, menyerukan kebangkitan Islam politik.

Muhammad Abduh, menekankan rasionalitas dan pendidikan.

Fazlur Rahman, memperkenalkan pendekatan historis-kontekstual dalam studi Alquran.
Lahirnya universitas-universitas Islam modern seperti Al-Azhar (reformasi), Universitas Islam Madinah, dan universitas-universitas Islam di negara-negara Muslim yang menggabungkan metode studi agama dan ilmu-ilmu sosial.

Studi Islam di era modern mulai menggunakan pendekatan interdisipliner: sejarah, sosiologi, antropologi, dan filsafat.

Islam: Ajaran Abadi di Dunia yang Terus Berubah

Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang sempurna dan berlaku sepanjang masa. Al-Qur’an, sebagai sumber utama, sering disebut-sebut sebagai shalih li kulli zaman wa makan (relevan untuk setiap waktu dan tempat). Namun, apakah itu berarti bahwa pemahaman terhadap teks-teks Islam harus statis?

Jawabannya adalah tidak. Sejarah menunjukkan bahwa para ulama terdahulu seperti Imam Syafi’i, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun menyesuaikan metodologi mereka untuk menjawab tantangan zaman mereka. Ini adalah bukti bahwa Islam memiliki fleksibilitas dalam hal ijtihad – pemikiran kritis dan kontekstual pada isu-isu yang tidak dibahas secara eksplisit dalam Al Qur’an dan Hadits.

Tantangan Kontemporer: Menguji Fleksibilitas Pemahaman Islam

Zaman modern menghadirkan isu-isu yang tidak dikenal pada masa klasik: globalisasi, pluralisme, krisis lingkungan, gender, hak asasi manusia, dan kecerdasan buatan. Banyak dari isu-isu tersebut tidak dapat dijawab secara harfiah oleh teks-teks klasik. Sehingga diperlukan pendekatan baru yang tetap mempertahankan esensi ajaran Islam, namun mampu menjawab pertanyaan dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Beberapa pendekatan kontemporer yang mulai digunakan antara lain:

Pendekatan historis-kritis, untuk memahami latar belakang turunnya wahyu.

Pendekatan sosiologis-antropologis, untuk melihat praktik-praktik keagamaan sebagai produk budaya.

Pendekatan maqashid syariah, untuk menekankan tujuan utama hukum Islam: keadilan, kemaslahatan, dan kemanusiaan.

Mengapa pendekatan baru diperlukan?

Pendekatan baru bukan berarti menggantikan Islam, melainkan menghidupkannya dalam konteks kekinian. Beberapa alasannya:

Mencegah Kekakuan Agama

Pemahaman yang sempit terhadap teks dapat mengarah pada ekstremisme. Pendekatan baru ini membuka ruang untuk dialog, toleransi, dan moderasi.

Menjembatani Generasi Muda

Generasi digital lebih kritis dan terbuka. Mereka membutuhkan Islam yang rasional, empati, dan aplikatif.

Menjawab Tantangan Global

Isu-isu global seperti perubahan iklim atau etika teknologi tidak dapat dijawab dengan argumen-argumen literal. Diperlukan pendekatan yang sistemik dan multidisipliner.

Kritik dan Kewaspadaan terhadap Pendekatan Baru

Meskipun bermanfaat, pendekatan baru tidak lepas dari kritik. Beberapa kelompok mengkhawatirkan liberalisasi penafsiran yang dapat mengaburkan batas-batas agama. Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dan landasan keilmuan yang kuat, agar pendekatan-pendekatan baru tetap berada dalam koridor syariah dan tidak menjadi alat pembenaran kepentingan sesaat.

Islam tidak membutuhkan pembaruan dalam ajarannya, tetapi manusia membutuhkan pembaruan dalam cara memahaminya. Pendekatan-pendekatan baru dalam studi Islam bukanlah suatu bentuk penyimpangan, melainkan upaya untuk menjaga agar Islam tetap hidup, relevan, dan membumi di setiap zaman.

Sebagai mahasiswa dan generasi pembelajar, kita memiliki tanggung jawab untuk mendalami Islam secara kontekstual, ilmiah, dan reflektif – sehingga nilai-nilainya tidak hanya dikenang dalam sejarah, tetapi juga memberikan solusi nyata terhadap tantangan zaman.

Zaid Hidayatur Rohiim
Mahasiswa STEI SEBI

Pos terkait