Fenomena ‘Grammar Police’ dan Dampaknya Terhadap Kepercayaan Diri Masyarakat dalam Berbahasa Inggris

DEPOKPOS – Di tengah kemajuan zaman modern, berbahasa Inggris di masyarakat menjadi hal yang biasa. Kita dengan mudah menemukan anak-anak yang mahir berbahasa Inggris. Namun di tengah situasi yang wajar tersebut, terdapat sebuah peristiwa yang biasa dikenal dengan “Grammar Police” yang mengacu pada kebiasaan langsung mengoreksi tata bahasa orang lain, khususnya dalam penggunaan bahasa Inggris. Akibatnya, kepercayaan diri masyarakat dalam menggunakan bahasa Inggris menurun dan proses belajar menjadi terhambat.

Menurut KBBI, Grammar merupakan sistem tata bahasa. Tata bahasa berperan dalam merangkai kalimat secara tepat, sehingga informasi yang disampaikan memiliki format yang terang dan tidak membingungkan, memudahkan pembicara atau pendengar dalam menangkap data dengan lebih baik.

Kemampuan berbahasa Inggris kian menjadi hal penting dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan hingga dunia kerja. Namun, dalam kenyataannya, banyak orang Indonesia yang masih merasa kurang percaya diri saat berbicara dalam bahasa Inggris, terutama dalam situasi lisan.

Contoh yang umum kita lihat di kolom komentar selebgram, masih banyak selebgram yang kurang lancar dalam berbahasa Inggris, baik lisan maupun tulisan, sehingga komentar dari netizen menjadi sangat tajam dan sarkastik. Fakta menariknya, di luar negeri seperti Amerika, banyak orang yang keliru dalam penggunaan istilah grammar. Khalayak umum masih kerap memakai ‘your cute’ daripada ‘you are cute’, mengapa? Karena tata bahasa tidaklah istimewa untuk percakapan santai, tata bahasa lebih umum digunakan dalam percakapan formal. Misalnya ketika berdiskusi dengan guru, orang yang lebih dewasa, dan sebagainya.

Kesalahan grammar adalah sesuatu yang biasa. Warga negara asing dianggap lebih memahami karena mereka menyadari bahwa bahasa merupakan sarana komunikasi, bukan wahana untuk menunjukkan kesempurnaan. Tidak seperti sebagian masyarakat lokal yang hanya memperhatikan kesalahan, itulah sebabnya warga negara asing dianggap lebih inklusif dan empatik, karena mereka dapat membangun ruang komunikasi yang lebih nyaman dan mendukung bagi pembelajar bahasa Inggris.

Dampak Psikologis dari “Grammar Police”

Dampak psikologis dari fenomena ini adalah timbulnya rasa malu, takut salah, hingga kecemasan saat berbicara bahasa Inggris. Koreksi di waktu yang tidak tepat atau disampaikan dengan cara yang menghakimi sangat menurunkan motivasi belajar dan keberanian seseorang untuk terus berlatih.

Ketakutan ini pada akhirnya menjadi penghambat dalam proses berlatih. Padahal, dalam pembelajaran bahasa, kesalahan merupakan bagian penting dari proses. Tanpa ruang untuk salah, seseorang tidak akan berkembang secara maksimal..

Fenomena “Grammar Police” justru membuat orang lebih fokus pada ketakutan terhadap kesalahan, bukan pada keberanian untuk mencoba sesuatu yang jauh lebih baik. Daripada menjadi bagian dari “Grammar Police”, sebaiknya kita juga mempelajari penggunaan bahasa yang kita ingin tampilkan.

Peran Lingkungan Belajar yang Suportif

Untuk mendorong perkembangan kemampuan berbahasa, sangat penting menciptakan lingkungan belajar yang suportif dan aman. Koreksi tetap diperlukan, tetapi harus dilakukan dengan cara yang membangun, seperti secara privat, dengan bahasa yang sopan, atau ketika memang diminta oleh penutur. Berlatih dengan tekanan sosial akan membuat trauma linguistik, terutama bagi pemula. Sebaliknya, pengalaman positif saat berlatih bahasa dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan menambah motivasi. Selain itu, berikan afirmasi positif dan gunakan media belajar yang menarik, seperti lewat musik atau fim kesukaan.

Edukasi untuk Para “Grammar Police”

Mengedukasi orang lain soal bahasa itu penting, tetapi cara penyampaian jauh lebih penting. Koreksi harus dilakukan dengan niat membantu, bukan merendahkan. Selain itu, masyarakat perlu diedukasi bahwa tujuan utama dari komunikasi adalah menyampaikan pesan secara efektif, bukan hanya memastikan tata bahasa sempurna agar terlihat keren. Jangan sampai kesempurnaan berbahasa lebih dihargai daripada keberanian untuk mencoba.

Ada beberapa contoh pendekatan atau edukasi yang lebih baik untuk saling membantu sesama individu dalam belajar bahasa.

Koreksi dengan empati
Koreksi yang disampaikan dengan empati mampu menjaga semangat belajar dan menghindari rasa malu atau takut untuk mencoba kembali. Pendekatan ini dilakukan dengan mengapresiasi terlebih dahulu usaha yang telah dilakukan, kemudian secara halus memberikan saran perbaikan. Misalnya, alih-alih langsung mengatakan bahwa seseorang salah, kita bisa mulai dengan ungkapan seperti, “Kalimatmu sudah sangat bagus dan pesannya jelas. Namun, jika boleh memberikan sedikit saran, kamu bisa menggunakan bentuk lampau ‘went’ untuk menyatakan bahwa kejadian itu sudah berlalu.” Dengan cara ini, pembelajar tidak merasa dihakimi, melainkan merasa didukung untuk tumbuh dan berkembang secara bertahap.

Fokus pada komunikasi, bukan kesempurnaan
Tujuan utama dari penggunaan bahasa adalah untuk menyampaikan ide, gagasan, dan perasaan dengan efektif, bukan semata-mata untuk menampilkan struktur tata bahasa yang sempurna. Dalam praktik pembelajaran, penting bagi pengajar dan sesama pembelajar untuk menekankan nilai komunikasi yang lancar dan saling memahami, daripada hanya berfokus pada akurasi gramatikal. Saat pembelajar mampu menyampaikan pesan dengan jelas meskipun masih terdapat kesalahan, itu sudah merupakan pencapaian yang signifikan. Menekankan kesempurnaan di tahap awal justru bisa menjadi penghambat, karena dapat memicu rasa takut salah.

Dukung semangat belajar
Salah satu aspek penting dalam mendampingi seseorang yang sedang belajar bahasa adalah memberikan dukungan moral dan memelihara semangat belajar mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan apresiasi atas setiap usaha, sekecil apapun, yang telah dilakukan oleh pembelajar. Ketimbang hanya berfokus pada kekurangan atau kesalahan, penting untuk menyoroti kemajuan dan menunjukkan penghargaan atas keberanian mereka mencoba. Misalnya, dengan mengatakan, “Kamu sudah menunjukkan kemajuan yang sangat baik, dan itu terlihat dari cara kamu menyusun kalimat yang lebih lancar dari sebelumnya.”

Sebaiknya, kita membangun budaya belajar yang suportif dan inklusif, dimana kesalahan tidak langsung dikritik pedas, tetapi koreksi dengan cara yang sopan dan empati. Gunakan media sosial sebagai ruang yang aman dan nyaman untuk belajar, bukan untuk mengomentari kesalahan orang lain demi hiburan atau validasi semata. Fokus untuk berlatih, bukan pada kesempurnaan grammar, karena inti dari bahasa adalah komunikasi, bukan kompetisi.

Dewi Sulistyani, Dhea Ayuningtyas, Saniah
Mahasiswa S1 Akuntansi, Universitas Pamulang.

Pos terkait