DEPOKPOS – 191,4 juta orang terus menggunakan media sosial, dan 92% remaja berusia 13 hingga 17 tahun online setiap hari. Penggunaan media sosial yang berlebihan dan tidak digunakan dengan benar berpotensi menimbulkan masalah kesehatan mental. Data dari Riset Kesehatan Dasar di Indonesia menunjukkan kondisi kesehatan mental remaja di negara itu yang sangat mengkhawatirkan. Menurut survei nasional ini, 9,8% remaja Indonesia mengalami gangguan mental emosional, dengan gejala yang beragam mulai dari kecemasan ringan hingga depresi berat. 30% siswa menunjukkan gejala kecemasan yang signifikan, dan 15% menunjukkan gejala depresi klinis.
Data terbaru dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 25% remaja Indonesia mengalami masalah dengan citra tubuh. Masalah ini tidak hanya terkait dengan ketidakpuasan terhadap penampilan mereka, tetapi juga terkait dengan masalah kesehatan mental lainnya. Studi kolaboratif antara Kementerian Kesehatan dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia menunjukkan bahwa masalah citra tubuh terkait dengan masalah kesehatan mental yang lebih kompleks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa empat puluh persen remaja mengalami kesulitan membangun dan mempertahankan hubungan sosial dengan teman sebaya dan keluarga.
Remaja adalah masa di mana manusia berusia belasan tahun beralih dari anak-anak ke dewasa. Ini adalah masa transisi dari anak-anak ke dewasa dan mencerminkan cara berpikir remaja yang masih dalam koridor berpikir konkret. usia sepuluh hingga dua puluh tahun, atau fase remaja, adalah masa peralihan dari anak menjadi dewasa.
Instagram, sebagai media sosial, memiliki fitur yang berbeda dari pendahulunya. Ini adalah media sosial di mana pengguna akun berbagi informasi, termasuk teks, gambar, suara, dan video, baik dengan orang lain maupun perusahaan. Selain memiliki kemampuan untuk menyimpan foto dan video, pengguna dapat mengirim pesan atau berbicara dengan orang lain.
Kehidupan masyarakat modern telah menjadi bagian dari pertumbuhan teknologi yang cepat di era digital. Platform sosial media seperti Instagram, Twitter, Tiktok, Facebook, dan lainnya memungkinkan pengguna untuk bebas mengakses informasi secara berkelanjutan, yang dikenal sebagai kelangsungan akses terbuka. sementara algoritma mengarah pada konten viral di sosial media. Hal ini menyebabkan kecenderungan pengguna untuk menggunakan sosial media yang berlebihan. Oleh karena itu, paparan konten yang ringan dan berlebihan menjadikan mereka sebagai “musuh” unik karena mereka “diserang” secara membabi buta dengan menggulir layar secara terus menerus, metode bersosial media yang sangat sederhana.
Di antara efeknya adalah overload informasi, terutama informasi ringan, yang menyebabkan kelelahan, kelelahan, dan kehilangan fokus. Kondisi ini dikenal sebagai kemunduran intelektual. Tidak hanya kesehatan mental pengguna yang terpengaruh oleh kemunduran intelektual, tetapi juga kemampuan halus mereka untuk melihat, memproses, dan mengevaluasi data secara kritis juga terpengaruh.
Generasi muda melihat peningkatan penonton konten viral karena mereka dapat melihat berjam-jam konten di beranda dan feed akun tanpa filter dan kadang-kadang tidak dapat mengontrolnya. Selain itu, dalam situasi di mana dia merasa konten tersebut mencerminkan perasaannya, Akhir-akhir ini, kepuasan instan menyebabkan kecanduan. Keadaan ini berdampak pada produktivitas individu, bahkan pengambilan keputusan dalam situasi di mana perasaannya telah divalidasi, serta kualitas komunikasi interpersonal hingga hubungan sosial secara umum.
Konten viral telah berhasil mengalihkan perhatian viewersnya. Beberapa tahun belakangan, pengguna sosial media berlomba-lomba membuat konten tanpa mempertimbangkan muatan konten, yang terpenting adalah viral terlebih dahulu. Audiens secara aktif memahami dan mengidentifikasi perspektif, perasaan, dan pemikiran yang berkaitan dengan kontroversi. Sehingga, konten yang kontroversial ini biasanya akan lebih mudah viral atau fyp (for your page).
Hal ini tersedia di semua platform sosial media seperti tiktok, Instagram, Facebook, Twitter, YouTube, dan lainnya. Banyak paradigma, kebiasaan, dan bahkan proses pengambilan keputusan telah diubah oleh kemudahan membuat konten dan akses bersosial media. Terciptanya konten yang tidak bertanggung jawab telah memiliki banyak efek negatif yang tidak dapat dikendalikan. Selain itu, etika bermedia sosial yang tidak diperbaiki membuat konten yang tidak berguna berkembang dengan cepat.
Konten receh benar-benar menghibur. Namun demikian, viewersnya dapat berubah pikiran karena hal ini. Bayangkan setelah menonton konten hiburan selama 7-15 detik, lalu melompat ke konten sedih selama 7-15 detik, dan kemudian melompat lagi ke konten berita terbaru selama 7-15 detik. Ini dapat menyebabkan mood tidak menentu. Ketidakjelasan dan ketergantungan pada perasaan disebabkan oleh pergeseran perasaan yang cepat dari bahagia, sedih, dan serius. Sebagai akibatnya, fungsi kognitif terganggu, yang berdampak pada kesehatan mental.
Rasya Dini Ramadhani
