Fenomena “ngabers” bukan sekadar tren gaya hidup, tapi juga mencerminkan dinamika pencarian jati diri generasi digital.
DEPOKPOS – Muncul dari media sosial, gaya hidup “ngabers” turut membentuk pola pikir, ekspresi diri, hingga tekanan sosial baru di kalangan Gen Z. Bagaimana dampaknya terhadap kepribadian mereka?
Dalam lanskap budaya digital Indonesia, istilah “ngabers” bukan lagi sesuatu yang asing. Fenomena ini lahir dari gaya hidup remaja laki-laki yang tampil mencolok, penuh percaya diri, dan sangat aktif di media sosial seperti TikTok dan Instagram. Mereka identik dengan outfit mencolok, jargon gaul, serta ekspresi diri yang penuh gaya.
Namun di balik tampilan seru dan viral itu, budaya ngabers menyimpan pengaruh yang lebih dalam terhadap kepribadian Gen Z. Dari sisi psikologis, sosial, hingga pembentukan identitas diri, tren ini tak bisa dipandang sebelah mata.
Panggung Ekspresi Identitas
Menurut Psikolog Klinis Ratih Ibrahim, M.M., masa remaja adalah fase pencarian jati diri, di mana individu mencoba berbagai gaya dan persona. Dalam konteks ini, budaya ngabers memberi ruang eksploratif bagi Gen Z untuk menunjukkan siapa mereka — atau siapa yang ingin mereka tampilkan.
Melalui pakaian, gaya berbicara, hingga konten yang diunggah, banyak remaja menyalurkan keunikan diri. Ini memperlihatkan keberanian mereka menabrak pakem sosial, menandakan bahwa Gen Z punya karakter terbuka, ekspresif, dan berani tampil beda.
Tekanan Sosial di Balik Layar
Namun, tidak semua ekspresi membawa dampak positif. Laporan Indonesian Digital Literacy Index 2023 mencatat bahwa 62% remaja Gen Z merasa tertekan untuk menciptakan persona tertentu di media sosial agar dianggap eksis.
Fenomena ini dikenal sebagai identity discrepancy dalam psikologi — ketimpangan antara “aku yang sebenarnya” dan “aku yang ditampilkan”. Ketika persona digital menjadi dominan, muncul risiko kelelahan mental, kecemasan sosial, dan kebingungan identitas.
Antara Kreativitas dan Citra Diri
Tidak bisa dipungkiri, ngabers juga menunjukkan sisi kreatif Gen Z. Mereka piawai membuat konten visual, memahami tren algoritma, hingga membangun personal branding yang menginspirasi. Tak sedikit yang menjadikan aktivitas ini sebagai ladang penghasilan.
Namun, Psikolog Sosial Novi Wulandari, M.Psi., mengingatkan bahwa “Kreativitas yang tidak ditopang nilai yang kuat, akan mudah tergelincir menjadi citra semata.” Inilah dilema Gen Z: menjadi diri sendiri atau menjadi siapa yang disukai banyak orang.
Menemukan Titik Tengah
Ngabers bukanlah musuh. Ia adalah salah satu manifestasi dari proses tumbuh-kembang generasi muda di era digital. Yang dibutuhkan bukan larangan, melainkan arahan dan ruang dialog agar ekspresi diri tidak berubah jadi tekanan sosial.
Penting bagi orang tua, guru, dan lingkungan sekitar untuk hadir sebagai penyeimbang. Memberikan pemahaman bahwa menjadi berbeda itu tidak salah, selama tetap berakar pada nilai diri yang autentik.
Sebagaimana diungkapkan Erich Fromm, “Menjadi diri sendiri adalah bentuk keberanian yang paling sejati.” Mungkin, di balik lelucon dan stereotip tentang ngabers, Gen Z tengah belajar melakukannya — dengan cara mereka sendiri.
Hasan Mustofa
Mahasiswa Universitas Pamulang
