Cerdas Saja Tak Cukup: Modal Religius dan Mental Tangguh Sebagai Kunci Sukses

Pendidikan kita telah menjadikan nilai sebagai tujuan utama, bukan sebagai alat. Kita dihargai karena skor, bukan karena integritas

DEPOKPOS – Kita terlalu sibuk mengejar IPK dan sertifikat, tapi lupa membentuk daya tahan mental dan nilai hidup mahasiswa. Akibatnya? Banyak yang cerdas, tapi rapuh. Pendidikan kita perlu dibenahi dari akarnya.

Sejak duduk di bangku kuliah, saya terbiasa mendengar kata-kata seperti: “IPK harus tinggi”, “ambil sertifikat sebanyak mungkin”, “kuasai skill biar cepat kerja.” Semua terdengar masuk akal. Tapi makin ke sini, saya justru bertanya-tanya: mengapa banyak mahasiswa yang secara akademik hebat, justru kesulitan menghadapi realitas hidup?

Kita harus jujur: sistem pendidikan kita terlalu akademik. Kita didorong menjadi mesin pencetak nilai, bukan manusia seutuhnya. Karakter, nilai hidup, ketahanan mental—semuanya nyaris tidak tersentuh. Padahal, dunia nyata tidak menilai seseorang dari transkrip semata.

Bacaan Lainnya

Saya pernah melihat seorang teman yang luar biasa cerdas. Ia selalu mendapat nilai sempurna dan aktif di berbagai pelatihan. Tapi saat menghadapi satu kegagalan kecil—gagal seleksi kerja—ia langsung jatuh, menarik diri, dan hampir menyerah. Seolah tidak dibekali kemampuan untuk bangkit.

Sebaliknya, ada teman lain yang akademisnya biasa-biasa saja. Tapi ia punya nilai hidup yang kuat, sabar menghadapi tekanan, dan tetap tenang saat situasi tak sesuai harapan. Justru ia yang lebih cepat berkembang dan diterima di dunia kerja. Apa bedanya? Karakter dan mentalitas.

Pendidikan kita telah menjadikan nilai sebagai tujuan utama, bukan sebagai alat. Kita dihargai karena skor, bukan karena integritas. Padahal dunia kerja dan kehidupan sosial membutuhkan orang-orang yang bisa dipercaya, mampu mengelola stres, punya empati, dan tidak mudah menyerah.

Modal religius dan psikologis sering kali diabaikan. Padahal, inilah yang membantu seseorang bertahan ketika semua teori tak lagi relevan. Nilai religius bukan sekadar ibadah, tapi juga rasa tanggung jawab, jujur, dan memaknai hidup lebih dari sekadar materi. Modal psikologis adalah optimisme, daya tahan, dan harapan—bukan sesuatu yang bisa diajarkan dalam lembar ujian.

Dalam artikel “Human Capital Creation” oleh Dian Ekowati dkk., disebutkan bahwa sumber daya manusia unggul bukan hanya mereka yang terampil secara teknis, tapi juga memiliki nilai-nilai spiritual dan kekuatan mental. Sayangnya, aspek ini belum menjadi perhatian serius dalam sistem pendidikan kita.

Jika kita ingin mencetak generasi tangguh, bukan hanya kompeten, maka sistem pendidikan harus berubah. Pendidikan tidak cukup hanya mengejar angka dan gelar, tetapi harus menyentuh sisi kemanusiaan mahasiswa.

Kita tidak butuh lebih banyak lulusan yang hanya pintar secara akademik. Kita butuh manusia yang utuh—yang bisa berpikir kritis, tetapi juga punya hati yang kuat; yang bisa bekerja keras, tetapi juga tidak kehilangan arah saat menghadapi kegagalan.

Sudah saatnya pendidikan berhenti menjadikan IPK sebagai segalanya. Nilai sejati dari pendidikan adalah membentuk karakter, bukan hanya angka di atas kertas.

Esti Marlina
Mahasiswa Program Studi Sarjana Akuntansi
Universitas Pamulang

Pos terkait