DEPOKPOS – Meski zaman sudah semakin maju dan teknologi berkembang pesat, Indonesia masih bergulat dengan persoalan yang tak kunjung tuntas yaitu “kesetaraan gender”. Salah satu akar masalah utamanya adalah budaya patriarki yang masih kuat mencengkeram kehidupan sehari-hari. Dalam sistem patriarki, laki-laki ditempatkan sebagai tokoh utama dalam keluarga, masyarakat, hingga pemerintahan. Sementara itu, perempuan sering kali dianggap sebagai pihak yang harus “mengikuti” atau berada di bawah.
Dampaknya? Perempuan kerap dibatasi perannya. Mereka kurang mendapatkan akses yang adil terhadap pendidikan, pekerjaan, bahkan kesempatan untuk berkembang. Ini bukan hanya soal perbedaan biologis, melainkan persoalan struktur sosial yang tidak memberikan ruang yang setara bagi perempuan untuk maju.
Contoh nyata bisa kita lihat dalam budaya masyarakat adat, salah satunya pada suku Batak. Dalam tradisi Batak, anak laki-laki dianggap lebih penting karena mereka adalah penerus marga keluarga. Sedangkan anak perempuan cenderung diarahkan untuk mengurus urusan rumah tangga, seperti memasak, melahirkan, dan merawat keluarga. Hal ini membuat anak laki-laki lebih sering diprioritaskan dalam hal pendidikan dan dukungan hidup.
Padahal, kenyataannya banyak perempuan Indonesia yang telah membuktikan bahwa mereka mampu menempuh pendidikan tinggi, meraih karier yang gemilang, dan bahkan menjadi pemimpin di berbagai bidang. Perjuangan perempuan bukan untuk mengalahkan laki-laki, tapi untuk menegaskan bahwa mereka pun punya hak yang sama, hak untuk belajar, bekerja, dan bermimpi setinggi mungkin.
Melihat kenyataan ini, tak heran jika banyak perempuan kini lebih berhati-hati dalam menentukan pasangan hidup. Banyak dari mereka memilih menunda atau bahkan tidak menikah, bukan karena tidak ingin, tetapi karena ingin menemukan pasangan yang benar-benar menghargai mereka sebagai pribadi yang setara. Ini bukan bentuk perlawanan, tapi bentuk kesadaran akan nilai diri dan hak mereka sebagai manusia utuh.
Sudah waktunya kita semua, terutama masyarakat adat dan para pemangku kebijakan, mulai membuka mata dan melakukan perubahan. Budaya tidak boleh dijadikan alasan untuk terus membenarkan ketimpangan. Justru budaya harusnya berkembang mengikuti nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Mempertahankan budaya bukan berarti melestarikan ketidakadilan.
Kesetaraan gender bukanlah ancaman bagi laki-laki, melainkan peluang besar untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan seimbang. Perempuan bukan makhluk kelas dua. Mereka adalah mitra sejajar yang mampu memberikan kontribusi besar dalam membangun masa depan Indonesia yang lebih maju, inklusif, dan bermartabat.
Marheni Angelica
Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Pamulang
