DEPOKPOS – Bahasa Indonesia sudah tidak asing lagi bagi kita orang pribumi sebab setiap hari kita berinteraksi dengan bahasa ibu tersebut. Namun ,untuk menjadikan bahasa indonesia mendunia, diperlukan strategi dan kebijakan yang kuat. di samping itu yang mungkin tidak banyak orang perbincangkan dan bertanya – tanya adalah seputar Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi pejabat negara, termasuk di luar negeri. Ini menjadi dasar untuk menjaga identitas bangsa bahkan saat berada di panggung internasional.
Hal tersebut masih berhubungan erat dengan Perpres No. 63 Tahun 2019 yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo, salah satunya Pasal 10–11 yang berbunyi bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, pejabat negara, dan wakil pemerintah Republik Indonesia di luar negeri. Dengan menaruh harapan besar Bahasa Indonesia akan menjadi bahasa resmi UNESCO dan PBB di tahun 2045.
Terlepas dari praktiknya, ternyata masih banyak perdebatan di kalangan mahasiswa ataupun siswa dan siswi yang menanyakan, “kalau kebijakan ini berlaku terus mengapa kita harus mempelajari Bahasa Inggris di sekolah dan kenapa hanya pejabat atau aparatur pemerintahan saja yang boleh atau mempunyai wewenang memakai Bahasa Indonesia? Karena kan yang tinggal di luar negeri dan yang wajib melestarikan budaya Indonesia juga bukan kalangan pejabat saja.” Ini masih menjadi pertanyaan bagi negara ke depan mengenai Undang-Undang dan Perpres tersebut.
Demikian pula yang menjadi perbincangan , mengapa presiden selanjutnya tidak melaksanakan undang – undang tersebut ditambah dengan Perpres yang sudah berlaku? Pembahasan ini luput dari mata kita sebagai warga negara. Seperti yang dikutip dari channel YouTube Kompas.com mengenai pidato Presiden RI Prabowo Subianto di KTT G20 di Brasil, beliau mengatakan dan berbicara tentang gaza menggunakan Bahasa Internasional yaitu Bahasa inggris ditambah lagi dengan peryataan Beliau merasa bahwa dirinya “grogi berpidato bahasa Indonesia di Turki” pada kunjungan bilateral Indonesia-Turki tanggal 10 April lalu.
Ini menjadi landasan bahwa pejabat negara , bahkan presiden sekalipun , terkadang terbiasa menggunakan Bahasa Inggris di luar negeri dengan berbagai alasan serta pertimbangan karena lebih mudah dipahami dan tidak memerlukan pihak ketiga sebagai penerjemah.
Fenomena ini pada akhirnya memunculkan pertanyaan yang lebih dalam: apakah penggunaan Bahasa Indonesia di forum internasional hanya bersifat simbolis atau benar-benar diwujudkan sebagai kebijakan yang dijalankan secara konsisten? Apakah kita sebagai bangsa benar-benar percaya bahwa bahasa kita mampu berdiri sejajar dengan bahasa-bahasa dunia lainnya?
Di sinilah peran masyarakat, khususnya generasi muda, menjadi penting. Kita tidak bisa hanya menyerahkan tugas pemeliharaan dan penyebarluasan Bahasa Indonesia kepada pemerintah atau pejabat negara semata. Bahasa adalah milik bersama. Jika kita menginginkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa global, maka semua elemen masyarakat harus menjadi duta bahasa, mulai dari pelajar yang aktif menulis karya ilmiah berbahasa Indonesia, hingga konten kreator yang bangga menggunakan Bahasa Indonesia di media sosial.
Sayangnya, yang sering terjadi justru sebaliknya. Generasi muda lebih bangga berbahasa asing , merasa keren, modern, dan pintar saat menyisipkan istilah asing dalam percakapan sehari-hari. Bahkan , tak sedikit konten edukasi justru disampaikan sepenuhnya dalam Bahasa Inggris, tanpa terjemahan atau padanan kata dalam Bahasa Indonesia. Lalu, bagaimana kita sebagai warga negara bisa berharap bahasa kita mendunia, jika di dalam negeri saja kita mulai mengabaikannya?
Beragam upaya pemerintah sudah dilakukan untuk mencapai target , salah satunya melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang sebenarnya sudah mengambil langkah konkret, salah satunya dengan program BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing). Program ini telah hadir di puluhan negara dan menjadi salah satu ujung tombak diplomasi budaya Indonesia. Namun , lagi-lagi, program ini lebih bersifat luar negeri. Di dalam negeri, kita justru masih berjuang membangkitkan kebanggaan terhadap bahasa sendiri.
Tak bisa dipungkiri, bahasa adalah bagian dari identitas dan kekuasaan budaya. Ketika kita memaksakan diri untuk terus menggunakan bahasa asing, secara tidak langsung kita sedang menempatkan budaya lain di atas budaya kita sendiri. Kita sedang mengirim pesan bahwa “bahasa kita belum cukup berharga untuk dibanggakan.”
Namun , tentu di lain sisi, kita juga tak bisa menafikan pentingnya penguasaan bahasa asing, terutama dalam dunia global seperti saat ini. Bahasa asing adalah jendela ke dunia, tapi Bahasa Indonesia adalah fondasi rumah kita sebagai pribumi. Yang perlu dilakukan adalah menyeimbangkan penguasaan bahasa asing untuk berkomunikasi internasional, tetapi tetap menjunjung Bahasa Indonesia sebagai identitas dan kebanggaan nasional.
Mungkin jawabannya bukan hanya dari kebijakan, tetapi dari keteladanan. Jika presiden dan pejabat tinggi secara konsisten menggunakan Bahasa Indonesia di forum internasional, maka rakyat akan melihat itu sebagai sesuatu yang pantas ditiru. Jika media lebih banyak menampilkan konten berkualitas dalam Bahasa Indonesia, maka masyarakat akan mulai mengubah persepsinya.
Karena pada hakikatnya ,bahasa bukan hanya alat komunikasi ; ia adalah lambang kedaulatan, cermin jiwa bangsa, dan warisan budaya yang tak ternilai. Jika kita ingin Bahasa Indonesia benar-benar mendunia, maka dunia harus melihat bahwa bangsa ini menghargai bahasanya sendiri terlebih dahulu.
Trias Saputra
