AI dan Otomasi dalam Ekonomi Berdampak Terhadap Tenaga Kerja dan Produktifitas

DEPOKPOS – Kecerdasan buatan (AI) dan otomasi kini bukan lagi sekadar konsep futuristic mereka telah menjadi bagian nyata dalam kehidupan ekonomi modern. Dari lini produksi di pabrik, layanan pelanggan, hingga sistem keuangan dan logistik, AI mulai memainkan peran penting dalam meningkatkan efisiensi dan akurasi kerja.

Teknologi ini diyakini mampu mendorong pertumbuhan produktivitas secara signifikan, bahkan mengubah cara kita memandang pekerjaan. Tapi di balik semua potensi positif tersebut, muncul pertanyaan besar: Bagaimana nasib tenaga kerja manusia di tengah pesatnya adopsi AI? Apakah AI akan menciptakan peluang baru atau justru memperbesar kesenjangan dan menggantikan banyak peran manusia?

Lonjakan Produktivitas Berkat AI

Sejumlah studi menunjukkan bahwa AI dan otomasi  telah meningkatkan efisiensi secara signifikan di berbagai sektor:

Bacaan Lainnya

Di sektor manufaktur global, penggunaan AI dalam predictive maintenance mampu mengurangi downtime hingga 25% dan meningkatkan akurasi deteksi kerusakan produk hingga 95% (Vanguard, 2024).

Di perusahaan teknologi seperti Salesforce, CEO Marc Benioff menyatakan bahwa AI kini menjalankan hingga 50% aktivitas operasional perusahaan, termasuk dalam pengembangan perangkat lunak dan layanan pelanggan membawa efisiensi dan penghematan waktu yang luar biasa (San Francisco Chronicle, 2024).

Studi dari Vanguard juga memproyeksikan bahwa integrasi AI secara menyeluruh dapat meningkatkan produktivitas global hingga 20% pada 2035 (Vanguard, 2024).

Bahkan dalam pekerjaan yang melibatkan kreativitas dan kognisi, dampak AI cukup mencolok. Dalam riset dari MIT dan Stanford, penggunaan generative AI pada layanan pelanggan meningkatkan produktivitas staf junior hingga 35%, karena AI membantu menyusun jawaban, menyarankan solusi, dan mempercepat waktu penanganan pelanggan (arXiv MIT-Stanford Study, 2023).

Transformasi Struktur Tenaga Kerja

Meski peningkatan produktivitas terdengar menjanjikan, implikasinya terhadap tenaga kerja tidak bisa diabaikan. AI cenderung menggantikan pekerjaan yang bersifat rutin dan berulang, namun di sisi lain juga memperkuat peran manusia dalam pekerjaan yang membutuhkan pemikiran analitis, kreativitas, dan interaksi sosial.

World Economic Forum memproyeksikan bahwa pada 2025, sebanyak 85 juta pekerjaan lama akan hilang, namun 69 juta peran baru akan tercipta, sebagian besar di bidang teknologi dan analisis data (WEF Future of Jobs Report, 2023).

Di Indonesia, sektor industri mulai merasakan pergeseran ini. Banyak perusahaan yang mengotomasi proses logistik, layanan pelanggan, hingga pemrosesan data. Namun, tantangannya adalah kesenjangan keterampilan tenaga kerja banyak pekerja belum siap menghadapi kebutuhan digital baru.

Studi dari berbagai jurnal nasional menekankan pentingnya program reskilling dan upskilling agar para pekerja tidak tertinggal. Pekerjaan baru yang muncul karena AI cenderung membutuhkan kompetensi digital yang lebih tinggi dibandingkan dengan pekerjaan yang tergantikan.

Paradox Produktivitas: Mengapa Data Makro Tidak Selalu Sesuai?

Menariknya, meskipun AI telah digunakan secara luas, pertumbuhan produktivitas nasional di banyak negara belum menunjukkan lonjakan signifikan. Fenomena ini dikenal sebagai “productivity paradox”, di mana kemajuan teknologi tidak secara langsung tercermin dalam peningkatan output ekonomi secara agregat.

Misalnya, di Inggris, pertumbuhan produktivitas rata-rata hanya sekitar 0,3% per tahun dalam satu dekade terakhir, meski banyak sektor sudah mengadopsi AI (The Times UK, 2024).

Sebaliknya, di beberapa sektor di Amerika Serikat, otomatisasi justru membantu perusahaan tetap tumbuh meskipun jumlah pekerjanya stagnan atau bahkan menurun. Artinya, manfaat produktivitas dari AI belum merata, dan seringkali hanya dirasakan oleh perusahaan besar atau sektor tertentu.

Arah Kebijakan: Kolaborasi Manusia dan Mesin

Agar manfaat AI benar-benar dirasakan secara luas tanpa meninggalkan tenaga kerja manusia, beberapa strategi penting perlu dilakukan:

Meningkatkan literasi digital dan program pelatihan
Pemerintah dan dunia usaha perlu bekerja sama menyediakan akses pelatihan keterampilan digital, analisis data, hingga literasi AI untuk semua lapisan masyarakat.

Mendorong model kerja kolaboratif
Bukan menggantikan manusia, AI sebaiknya menjadi alat bantu yang meningkatkan produktivitas pekerja. Ini bisa diterapkan melalui sistem cobots (collaborative robots) di pabrik maupun asisten AI di layanan digital.

Regulasi dan kebijakan yang berpihak pada pekerja
Negara harus menciptakan regulasi dan sistem perlindungan sosial yang adaptif terhadap era otomatisasi, termasuk insentif bagi perusahaan yang melakukan pelatihan bagi pekerjanya.

Distribusi hasil produktivitas yang lebih adil
Sejumlah ekonom bahkan menyarankan konsep seperti empat hari kerja dalam seminggu, sebagai upaya menyeimbangkan hasil produktivitas AI dengan kualitas hidup manusia (Business Insider – Bernie Sanders, 2025).

AI Sebagai Alat Pembebas, Bukan Pengganti

AI dan otomasi memang menjanjikan produktivitas yang luar biasa. Tapi bila tidak diimbangi dengan kebijakan yang tepat dan kesiapan SDM, teknologi ini bisa memperlebar kesenjangan sosial dan ekonomi.

Justru di sinilah tantangan sekaligus peluang terbesar Indonesia: bagaimana menjadikan AI sebagai alat pembebas, bukan pengganti. Melalui kolaborasi lintas sektor dan fokus pada pengembangan manusia, teknologi ini bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Melisa Agustina

Pos terkait