“Agak Laen”: Bahasa, Budaya, dan Identitas Batak dalam Ruang Komedi Populer

DEPOKPOS – Film Agak Laen bukan hanya sukses secara komersial, tapi juga berhasil menciptakan ruang baru bagi budaya dan bahasa lokal dalam sinema Indonesia. Dalam arus perfilman nasional yang kerap tersentralisasi di Jakarta dan pulau Jawa, kehadiran film ini menjadi napas segar yang membuktikan bahwa kearifan lokal bisa jadi kekuatan utama dalam bercerita.

Apa yang membuat Agak Laen terasa begitu dekat, lucu, dan mengena? Jawabannya mungkin terletak pada satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari film ini: logat Batak. Bukan sebagai tempelan, bukan sekadar bumbu tapi sebagai identitas utuh, jujur, dan hidup.

Bahasa sebagai Karakter, Bukan Pelengkap

Sejak menit-menit awal film, kita langsung disambut oleh gaya bicara khas Medan yang cepat, penuh tekanan nada, dan ekspresif. Para tokohnya diperankan oleh Bene Dion, Boris Bokir, Indra Jegel, dan Oki Rengga bercakap-cakap dalam logat Batak Toba dengan begitu alami, seolah kita sedang menyimak obrolan di warung kopi kota Medan.

Tapi logat ini bukan hadir sekadar untuk mengundang tawa. Justru di situlah kekuatannya. Bahasa daerah dalam film ini menjadi cermin karakter, menjadi alat ekspresi emosi, sekaligus pintu masuk bagi penonton ke dalam dunia para tokohnya. Alih kode antara bahasa Indonesia dan Batak berlangsung mulus, tanpa canggung. Kita bisa merasa marah, sedih, atau geli bukan karena kata-katanya asing, tapi karena ketulusannya terasa sangat manusiawi.

Komedi yang Tidak Melecehkan

Sudah lama stereotip tentang orang Batak muncul dalam media populer: galak, keras kepala, teriak-teriak. Sayangnya, banyak karya yang justru menertawakan stereotip ini tanpa memberi ruang bagi kemanusiaan di baliknya. Tapi Agak Laen memilih jalan berbeda.

Humor dalam film ini lahir dari situasi, dari kelucuan yang membaur dengan kegagalan, kejujuran, dan spontanitas. Kita tertawa karena merasa kenal dengan tokohnya, bukan karena merasa lebih baik dari mereka. Inilah bentuk komedi yang menyentuh dan tidak merendahkan, bahkan ketika logat digunakan sebagai unsur kelucuan, ia tetap menghormati latar budayanya.

Merayakan Lokalitas Medan

Latar film yang mengambil tempat di rumah hantu tua di tengah kota Medan memperkuat nuansa lokal yang kental. Tempat itu bukan hanya latar fisik, tapi simbol dari kehidupan urban masyarakat Sumatra Utara kreatif, keras, tapi juga penuh solidaritas.

Kehadiran budaya Medan mulai dari gaya bergaul, bahasa, hingga cara menghadapi masalah membuat film ini punya warna sendiri. Tanpa perlu memasukkan ritual adat atau upacara besar, film ini tetap berhasil menggambarkan budaya Batak dalam kehidupan sehari-hari yang nyata dan hidup.

Ruang Baru untuk Bahasa Daerah

Yang paling mengesankan dari Agak Laen bukan sekadar keberhasilannya menghibur, tetapi kemampuannya membuka ruang. Di saat banyak film memilih jalan aman dengan bahasa baku atau ragam Jakarta, film ini justru memperlihatkan bahwa bahasa daerah punya daya tarik universal. Tak harus diterjemahkan, tak perlu disederhanakan cukup ditampilkan dengan jujur, dan penonton pun bisa merasakannya.

Bagi penonton Batak, ini adalah momen representasi yang membanggakan. Bagi penonton dari luar, ini adalah undangan untuk mengenal, menyimak, dan akhirnya ikut tertawa bersama. Itulah kekuatan bahasa: ia bukan dinding pemisah, tapi jembatan empati.

“Agak Laen” menandai satu babak penting dalam perjalanan film Indonesia: keberanian untuk menjadikan lokalitas sebagai pusat, bukan pinggiran. Film ini menunjukkan bahwa cerita yang kuat bisa datang dari mana saja, dan logat Batak bisa menjadi bahasa universal, asal dituturkan dengan rasa.

Di tengah industri hiburan yang kadang terlalu sibuk meniru luar negeri atau mengejar viralitas, Agak Laen mengajak kita kembali pada akar cerita yang lahir dari tempat, bahasa, dan budaya kita sendiri. Dan itu, pada akhirnya, adalah hal yang paling menyegarkan dan paling menghibur.

Ilona Azahra Jacinda

Pos terkait